DAFTAR ISI
Kesimpulan
Makanan, makan, dan selera, berhubungan dengan organ dan fungsi tubuh. Makan adalah proses fisiologis; selera adalah kemampuan dan kualitas fisik, menambahkan ’rasa’ pada proses ini dan hal tersebut memunculkan reaksi emosional seperti kenikmatan atau ketidak-sukaan; dan hanya bahan yang dapat dikonsumsi serta diurai tubuh diberi label ’makanan’. Jadi, kebiasaan makan tidak sepenuhnya ’tidak alami’—hal ini berlaku setidaknya bagi mereka yang tubuhnya telah terkondisi pada ketentuan dan preferensi kuliner tertentu.
Tubuh Minahasa, contohnya, telah terbiasa pada rasa babi, tikus dan anjing—jenis daging yang tidak akan disentuh tetangga Muslim mereka. Lebih lanjut lagi, penggunaan cabai dalam jumlah besar dalam masakan Minahasa menuntut fisik yang mampu menanggung rasa pedas. Jika makanan Minahasa merupakan tantangan bagi pendatang baru, penduduk lokal telah menikmati kelezatan-kelezatan yang menjaga tubuh mereka tersebut selama bertahun-tahun. Orang luar akan dinilai berdasarkan kemampuan mereka menyantap makanan Minahasa dan walau adaptasi yang bertahap diinginkan, integrasi sepenuhnya tidak diharapkan. Selera cenderung konservatif dan para ilmuwan telah menunjukkan bahwa preferensi makanan adalah salah satu kebiasaan yang paling bertahan; meskipun tidak sekaku seperti yang tampak sekilas (lihat Bourdieu 1986) dan dapat berubah bahkan di tahap-tahap akhir hidup.
Walaupun fleksibilitas dan kemampuan adaptasi selera para pengunjung umumnya ditanggapi dengan gembira oleh orang Minahasa, dalam hal makanan ’khas’ Muslim dan daya tariknya pada umat Kristen, kualitas-kualitas tersebut pada sesama orang Minahasa akan dilihat dengan penuh curiga. Daya tarik makanan Muslim dianggap ancaman bagi komponen identitas Minahasa. ’Ke-Minahasa-an’ sebagai identitas umum mayoritas penduduk Minahasa didasarkan baik pada kategori sosial seperti kesukuan, agama, dan kebudayaan maupun wilayah yang dihuni bersama, bahasa, dan sejarah. Kekuatan eksternal seperti kolonialisme, penyebaran agama, dan hegemoni Jawa pasca-kolonialisme memiliki pengaruh penting pada konstruksi identitas tersebut. Sekalipun faktor keturunan memainkan peran besar dalam transmisi identitas Minahasa, identitas senantiasa tetap harus diperbaharui kembali dan dinyatakan ulang melalui praktik sosial. Aktivitas makan, sebagai contoh, adalah kegiatan yang sesuai untuk mengokohkan identitas biologis dan sosial dengan menunjukkan keterikatan orang Minahasa pada leluhur dan tanah tempat tinggal mereka serta tergabungnya mereka dalam ’komunitas’ Kristen. Seperti semua identitas sosial, ke-Minahasa-an didefinisikan secara negatif dan positif dan sering menggunakan perbedaan dengan identitas Muslim sebagai dasar. Di tingkat lokal, masyarakat Kristen Minahasa membedakan diri mereka dari ’tetangga’ Muslim mereka yang, meskipun telah tinggal lama di Minahasa, tidak diakui sebagai orang Minahasa. Di tingkat nasional, penekanan dilakukan pada perbedaan mereka dengan wilayah dan provinsi lain di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di tahun-tahun belakangan ini, perubahan dalam struktur politik dan pengalihan kompetensi dan tanggung jawab pada otoritas daerah memberi tidak sekadar otonomi dan kebebasan daerah yang lebih besar tetapi juga peningkatan instabilitas dan perasaan tidak aman, terlebih karena reformasi politik berjalan diiringi berbagai konflik kekerasan di berbagai daerah di nusantara. Orang Minahasa, seperti umat Kristen lain di Indonesia, menganggap fundamentalisme Islam berada di balik konflik-konflik dan dampak negatif konflik di seluruh Indonesia. Sebagai akibatnya, tumbuh sikap penolakan dan ketidakpercayaan masyarakat Minahasa terhadap orang Muslim secara umum. Meskipun hubungan antara kedua kelompok dicirikan oleh dijaganya jarak dan sikap menghindar dari kedua kubu, ketegangan tak diragukan lagi telah meningkat dan dipupuk oleh stereotipe dan prasangka (negatif) terhadap kubu lain.
Perbedaan dalam kebiasaan seputar makanan per se tidak cukup untuk memancing perseteruan serius antara umat Kristen dan Muslim. Meskipun demikian, makanan adalah penanda primer identitas Minahasa dan dengan begitu memisahkan mereka dari Yang Lain, yang tidak memiliki tradisi yang sama, seperti misalnya umat Muslim. Ideologi dan praktik pembedaan menjadi sangat relevan di masa kekisruhan politik dan sosial. Makanan adalah elemen sentral, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kejadian-kejadian penting, dan karenanya memberi banyak kesempatan untuk mengisi identitas Kristen dan Muslim dengan makna dan sekaligus menggarisbawahi perbedaan ’alami’. Dihidupkannya kembali aturan, tabu, dan rekomendasi seputar makanan adalah salah satu cara yang cukup efektif untuk menampilkan batas-batas sebagai sesuatu yang normal dan tak terhindarkan. Makan adalah kegiatan sosial yang fundamental dan menciptakan atau mendefinisikan hubungan sosial; kedekatan dan jarak. Jadi, menyantap secara teratur hidangan Muslim, terlebih di ’lingkungan’ Muslim dapat membuat batas suku atau budaya dan persepsi tentang perbedaan, dipertanyakan kembali. Meskipun hubungan semacam itu antara kelompok Kristen dan Muslim merupakan keadaan ideal di mata orang luar, masyarakat Minahasa sendiri cenderung skeptis. Jarak sosial adalah syarat untuk mereproduksi citra Minahasa dan interpretasi tentang agresi Muslim. Citra tersebut dibutuhkan untuk membenarkan diskriminasi politik dan sosial serta untuk memelihara ’budaya perbedaan’ (culture of difference).
Referensi
Bourdieu, P. 1986. Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. London: Routledge. Brillat-Savarin, J.A. 1825/26 The Physiology of Taste. (2 vols.) New York: Liveright.
Brubaker, R. dan D.D. Laitin. 1998. ‘Ethnic and Nationalist Violence’, Annual Review of Sociology 24: 423–452.
Caplan, P. (peny.). 1997. Food, Health and Identity. London: Routledge.
Counihan, C. dan P. van Esterik (peny.). 1997. Food and Culture: A Reader. London: Routledge.
Davidson, J. 1999. Kurtisanen und Meeresfrüchte: Die verzehrenden Leidenschaften im klassischen Athen. Berlin: W.J. Siedler.
Douglas, M. 1966. Purity and Danger. London: Routledge and Kegan Paul.
van Eeuijwik, P. 1999. Diese Krankheit passt nicht zum Doktor: Medizinethnologische Untersuchungen bei den Minahasa (Nord-Sulawesi, Indonesien). Basel: Wepf (Basler Beiträge zur Ethnologie, vol. 41).
Godée Molsbergen, E.C. 1928. Geschiedenis van de Minahassa tot 1829. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Graafland, N. 1991 (1898) Minahasa: Negri, Rakyat, dan Budayanya. Jakarta: Yayasan Parahita.
Harvey, B. 1977. Permesta: Half a Rebellion. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press (Monograph Se-ries, Publication no.57).
Henley, D. 1992. Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies. Tesis Ph.D., Canberra: ANU.
Jenkins, R. 1996. Social Identity. London: Routledge.
Kosel, S. 1998. ‘Die zu eins gemacht wurden’: Gruppenidentitäten bei den Minahasa Nordsulawesis (Indonesien). Tesis MA tidak diterbitkan. Frankfurt/Main: Johann Wolfgang Goethe-Universität.
Macbeth, H. (peny.). 1997 Food Preferences and Taste: Continuity and Change. Oxford: Berghahn.
Pusung, D. 1994. Teologi hati babi dalam upacara-upacara adat di jemaat Waleo. Tesis BA tidak diterbitkan. Tomohon: Fakultas Pendidikan Agama Kristen, UKIT.
Riedel, J.F. 1836. Maandberigt van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, no. 4. Rotterdam: Wijt & Zonen.
Scholliers, P. (peny.). 2001. Food, Drink and Identity: Cooking, Eating and Drinking in Europe since the Middle Ages. Oxford, N.Y.: Berg.
Schouten, M. 1998. Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society: Minahasa, 1677-1983. Leiden: KITLV Press.
Schwarz, J.G. 1908. Tontemboansch-Nederlandch woordenboek met Nederlandsch-Tontemboansch register. Leiden: E.J. Brill.
Tauchmann, K. 1968. Die Religion der Minahasa-Stämme (Nordost-Celebes/Sulawesi). Tesis Ph.D. tidak diterbitkan. University of Cologne.
Catatan Kaki
[1] Keseluruhan wilayah, termasuk kota-kota besarnya dihuni oleh tidak lebih dari sekitar 1.300.000 penduduk
[2] Lihat Schouten (1998) untuk penjabaran mendetil tentang perkembangan struktur politis dan kepemimpinan di Minahasa
[3] Lihat Henley (1992) untuk penjabaran tentang perkembangan struktur politik dan kepemimpinan di Minahasa
[4] Hingga saat ini ada delapan bahasa yang berbeda dan lebih banyak lagi dialek lokal yang digunakan di Minahasa
[5] Ada berbagai versi mengenai apakah penduduk asli Minahasa terbagi atas 3, 4, atau 5 ’kelompok bahasa’. Istilah ini problematis dalam konteks Minahasa, seperti yang kerap terjadi dalam konteks-konteks lain, karena ’kelompok’ di sini tidak mengacu pada sejumlah orang yang berkegiatan bersama. Meskipun demikian, karena konvensi dan tidak tersedianya alternatif yang lebih sesuai, saya tetap menggunakan istilah ini jika dirasa sesuai. Lihat Eeuijwik (1999: 273-275) dan Tauchmann (1968: 31-56) untuk ringkasan mengenai berbagai versi dan interpretasi tentang mitos tersebut.
[6] Karena saya hanya menyoroti keadaan di pedesaan dan daerah semi-urban, saya tidak akan membahas kebiasaan seputar makanan di kota-kota besar seperti Manado dan Bitung. Di sana, tersedianya hidangan cepat saji dan hidangan Barat serta gaya hidup yang berbeda menimbulkan kebiasaan konsumsi makanan dengan keragaman yang tinggi.
[7] Komunitas nelayan sering, tetapi tidak ekslusif, terdiri dari ’orang luar’ yaitu keturunan non-Minahasa yang memiliki keterbatasan akses ke tanah dan sumber daya lainnya.
[8] Sama seperti ibu kota provinsi, Manado (dan sangat berlawanan dengan daerah pedesaan), populasi Mus-lim di kota kedua terbesar, Bitung, mencapai lebih dari 25% dalam sensus terbaru di tahun 2001.