Loading...
Wacana

Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner

’KAMI makan babi sementara MEREKA makan sapi’

Pada bagian sebelumnya saya telah membahas tentang apa yang disebut makanan ’khas’ Minahasa, yaitu hidangan yang menggunakan bahan dasar yang merupakan kekhasan daerah tersebut dan masih terkait pada cara produksi dan konsumsi tradisional. Menurut penduduk lokal, pesta merupakan ajang istimewa untuk menampilkan berbagai tradisi kebudayaan, tetapi anehnya makanan khas tidak disajikan. Meskipun terdapat variasi antardaerah, pada umumnya di saat pesta, yang disajikan adalah hidangan yang menggunakan daging babi sebagai bahan dasar. Hal yang lebih menarik lagi adalah kenyataan bahwa hidangan daging babi tersebut diolah dengan hanya sedikit cabai dan bumbu lain. Dengan cara itu, rasanya menjadi lembut dan bahkan ’hambar’ jika dibandingkan dengan hidangan-hidangan daging lain yang biasa disajikan di rumah-rumah dan restoran.

Selera untuk daging hewan buruan, ayam, atau ikan air tawar masih ada, babi tetap menempati urutan pertama dalam daftar hewan yang dapat dimakan dan daging babi adalah jenis daging yang paling digemari. Daging babi (baik direbus, digoreng, maupun dipanggang) pasti disajikan dalam tiap acara istimewa. Arti ekonomis babi tidak mengejutkan karena, pertama-tama, babi mengandung lebih banyak daging dan lemak dibandingkan jenis binatang lain dan dengan demikian menunjukkan kekayaan si pemilik ataupun mereka yang dapat membeli dan menyembelihnya. Tersajinya satu babi utuh, atau bahkan beberapa hewan adalah tanda keistimewaan acara karena tuan rumah bersedia membuat pengorbanan yang berarti. Dewasa ini, hal tersebut biasa terjadi dalam rangka pernikahan, pembaptisan, pemakaman, dan terkadang saat perayaan ulang tahun yang besar. Babi juga bernilai tinggi karena merupakan tokoh penting dalam mitos dan kosmologi or-ang Minahasa. Menurut mitos, seekor babi kuno yang besar membawa dunia di atas punggungnya sementara versi lain mengatakan bahwa babi dikorbankan dalam upacara yang dilakukan dewa-dewa penghuni dunia kejahatan (Tauchmann 1968: 121). Hingga beberapa dekade lalu, meramalkan masa depan dengan mempelajari hati babi yang baru disembelih merupakan sesuatu yang biasa dilakukan (Pusung 1994). Lebih dari binatang lain, babi mewakili tradisi Minahasa dan mempunyai ikatan dengan leluhur dan wilayah. Walaupun demikian, kegemaran memakan daging babi bukan sesuatu yang ditemui semata pada orang Minahasa melainkan juga pada komunitas-komunitas non-Muslim di seluruh Indonesia. Dengan demikian kegemaran memakan daging babi kurang tepat jika dianggap sebagai indikator identitas Minahasa yang membedakan mereka dari kelompok Yang Lain (Others). Kebiasaan tersebut justru menyatakan penyatuan yang lebih luas dan melampaui batas wilayah Minahasa. Sebagai ’pemakan babi’, orang Minahasa menempatkan diri mereka dalam satu kategori dengan Yang Lain (Others) yang dikenal sebagai orang Kristen, orang Hindu, dan orang Buddha. Dengan memperluas kesamaan dengan orang luar (outsiders) tersebut, perbedaan dengan kelompok Muslim makin mencolok. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat daerah saja tetapi juga di tingkat nasional dan bahkan internasional. Minahasa menekankan kesetiaan mereka pada agama Kristen yang, walau berakar pada masa awal kolonisasi Eropa, baru menyebar dengan cepat setelah misionaris NZG serta didikan mereka hadir di Minahasa. Saat ini, para penjajah telah digantikan oleh komunitas ’dunia Kristen’ dan identifikasi dengan dunia Barat menjadi sikap yang menyatakan oposisi Minahasa terhadap Islam.

Dengan demikian, babi menjadi hewan ideal ketika identitas Minahasa dipertaruhkan. Banyaknya peternakan babi, popularitas dagingnya dan sebagai konsekuensi, di-konsumsinya daging babi dalam jumlah besar dapat dipahami karena babi memiliki makna besar secara tradisional dan dalam agama serta masyarakat Kristen (moderen). Tidak seperti daging hewan lain yang tidak selalu disajikan saat pesta, daging babi dipastikan selalu dihidangkan. Proses persiapannya, yaitu penyembelihan babi, pemotongan dan pemasakan daging hampir merupakan kegiatan ritual yang memiliki beberapa aturan sesuai tradisi Minahasa. Dengan mengunggulkan babi dan mengikuti persiapan masakan secara tradisional, penyelenggara maupun peserta pesta membuktikan keberlangsungan dan pemahaman mereka tentang budaya dan adat tradisional Minahasa dan dengan sendirinya, membuktikan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari, orang Minahasa kerap menggaris-bawahi kebiasaan memakan babi sebagai penanda dominan perbedaan mereka dengan komunitas Muslim. ’Kami, orang Minahasa, makan babi sementara mereka, orang Muslim, makan sapi’ adalah ucapan yang kerap diutarakan. Orang, tempat, dan peristiwa diidentifikasi sebagai Kristen atau Muslim berdasarkan jenis daging yang disajikan. Karena larangan agama, orang Muslim biasanya tidak makan daging babi, anjing, atau hewan hutan. Mereka memilih menyantap daging sapi dan kambing, baik di pesta, di restoran, atau di rumah.

Dalam hal ini, kebiasaan makan masyarakat Muslim yang tinggal di Minahasa tidak berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Di acara-acara umum dan pesta-pesta pribadi yang diadakan di kota-kota besar dengan populasi heterogen (termasuk Muslim), dua jenis makanan disediakan: ’makanan Minahasa’ dan ’makanan nasional’. Dengan begitu, hidangan yang disediakan bagi orang Muslim yang tidak memakan babi dikategorikan sebagai ’hidangan nasional’ meskipun masakan tersebut masih memiliki karakteristik masakan Minahasa dan perbedaannya hanya terletak di jenis daging yang digunakan. Label ini memberi kesan bahwa Islam diakui nyaris sebagai agama nasional yang, bagaimana pun juga, berlawanan dengan, dalam kondisi lain, dukungan pada pluralitas agama dan penolakan dominasi Muslim.

Dalam konteks sehari-hari, pemisahan antara makanan Muslim dan Kristen serta konsumen mereka tidak sekaku yang dikesankan. Ada or-ang-orang Muslim yang juga memakan daging babi atau hewan buruan, setidaknya sesekali dan diam-diam, dan restoran serta warung yang menyajikan ’hidangan Muslim’ juga dikunjungi oleh orang Kristen dan orang Muslim dalam jumlah yang hampir sama banyaknya. Meskipun demikian, banyak orang Kristen Minahasa yang saya jumpai, terutama wanita, menyatakan ketidaksukaan mereka pada daging sapi dan kambing dan menjelaskan bahwa karena rasanya yang aneh, jenis-jenis daging tersebut berada di urutan terbawah daftar daging yang mereka sukai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.