DAFTAR ISI
Makanan dari bumi
Pada tahap ini kita dapat bertanya, dan memang sudah sewajarnya, bagaimana kumpulan bahan makanan yang terkesan acak ini dapat mewakili ’tradisi‘ dan ’kebudayaan‘ Minahasa, lebih dari bahan makanan lainnya— setidaknya di mata mereka yang menggunakan bentuk penggolongan tersebut? Jika memang demikian halnya, apakah ada kesamaan yang tersembunyi antara ketiga ’kategori’ yang sekilas terlihat cukup beragam tersebut?
Saya tidak akan membandingkan kategori-kategori tersebut dengan kebiasaan makan masa kini, yang jelas tidak akan membuahkan banyak hasil, dan memilih untuk menelusuri asal-usul beragam bahan makanan tersebut. Bersama bahan yang dibutuhkan untuk tinutuan, cabai tumbuh baik di kebun milik pribadi maupun di pertanian-pertanian komersial di seluruh Minahasa. Meskipun demikian, dipengaruhi faktor tanah dan iklim, daerah penanaman utama sayur-mayur adalah daerah pegunungan. Kebun-kebun dan hutan-hutan di daerah itu juga merupakan tempat berburu hewan sehingga dibandingkan mereka yang bermukim di pesisir, penduduk pegunungan memproduksi lebih banyak bahan dasar hidangan tradisional. Hal ini bukan kebetulan. Pedalaman adalah tempat yang dihuni oleh orang Minahasa ’asli’ dan dianggap pusat tradisi terkuno dan terkokoh. Daerah pedalaman adalah tanah nenek moyang masyarakat yang kini ada serta tanah para leluhur terhormat yang makanannya terdiri atas sayur-mayur, umbi-umbian, serta binatang buruan, dan bukan ikan air asin. Definisi ’pedalaman’ lebih ditentukan oleh morfologi tanah yang cocok untuk pertanian dan bukan pada jarak aktual suatu tempat dari laut.
Contoh yang mewakili hal tersebut adalah desa Waleo dan sekitarnya yang terletak di pantai Timur Laut Minahasa. Meskipun desa tersebut letaknya hanya beberapa menit berjalan kaki dari pantai, mayoritas penduduknya merupakan petani yang bekerja di kebun-kebun. Generasi muda zaman sekarang semakin banyak yang memilih mencari mata pencaharian di kota dan menghabiskan makin sedikit waktu dan energi untuk bercocok tanam. Namun demikian, kepemilikan tanah masih merupakan sumber identitas dan kebanggaan. Mereka yang kini berusia 30-40-an senang mengenang masa muda mereka (sekitar 20 tahun lalu) saat kehidupan di desa sangat berbeda dari sekarang. Indikator yang digunakan adalah jumlah waktu yang mereka habiskan di kebun dan intensitas pekerjaan bercocok tanam. Kebanyakan keluarga berada di kebun mereka dari hari Senin hingga Sabtu, hidup dan bekerja di sana. Mereka kembali ke desa di hari Minggu. Selama seminggu itu, mereka hidup dari hasil kebun, antara lain umbi-umbian, jagung, sayur-mayur, sejumlah kecil beras, telur, terkadang ayam, anjing, atau hewan hasil buruan lainnya. Ikan asin terkadang tersedia juga, tetapi ikan segar disimpan untuk hari Minggu. Perubahan pola kerja, tempat, dan gaya hidup juga menimbulkan perubahan dalam kebiasaan makan. Saat ini, makanan yang terdiri atas ikan dan nasi, diperoleh dengan membeli, telah menggantikan kebiasaan lama dalam cara makan. Umbi-umbian, jagung dan sayur-mayur ditambahkan dalam jumlah sedikit dan hanya mereka yang kurang berkecukupan saja yang masih menanam sendiri bahan-bahan tersebut. Tinutuan, salah satu makanan Minahasa yang paling terkenal, dianggap ’makanan orang miskin’. Hasil berkebun yang dicampur dan dijadikan bubur konon ’ditemukan’ semasa penjajahan Jepang saat makanan sulit diperoleh. Selain itu, tinutuan mudah dimasak dan disiapkan saat orang tinggal di kebun karena semua bahan sudah tersedia. Jika zaman dahulu tinutuan dimasak sesuai kebutuhan para petani, penduduk kota perlahan-lahan menganggap-nya sebagai hidangan lezat yang sesuai untuk sarapan kedua. Dengan begitu, statustinutuan meningkat menjadi hidangan khas daerah.
Secara singkat, kesamaan berbagai bahan makanan ini (cabai—hewan buruan—tinutuan) adalah identik dengan asal-usul mereka. Bahan-bahan tersebut atau bumbu-bumbu yang diperlukan bukanlah hasil laut melainkan hasil bumi atau binatang yang diburu, dikumpulkan atau dipanen di kebun dan hutan daerah pedalaman. Sebagai pemburu, pengumpul makanan, dan petani, orang Minahasa meneruskan tradisi (kuliner) nenek moyang mereka, yang juga menempati daerah pegunungan. Dengan demikian, mereka memenuhi syarat sebagai keturunan ’asli’ orang Minahasa. Sebagai pemilik dan pengolah tanah, dan dengan menunjukkan pemahaman mereka tentang wilayah dan daerah tertentu, orang Minahasa membuktikan keterikatan pada dan kepemilikan sah atas tanah. Para leluhur terikat pada tanah dan juga berlaku sebaliknya, keduanya dikaitkan dalam mitos-mitos dan ’sejarah’. Meskipun penduduk daerah pegunungan memiliki ’kehormatan’ untuk diakui sebagai orang Minahasa ’asli’, penduduk pesisir juga dapat meraih status yang hampir sama jika mereka dapat membuktikan akar dan posisi mereka dalam sejarah Minahasa serta kaitan pada tradisi yang, hingga taraf tertentu, ditentukan oleh lanskap. Jadi dengan memproduksi dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, orang Minahasa membuat pernyataan tentang status sosial, posisi dalam masyarakat, dan identitas budaya mereka. Jika mereka memilih hasil kebun dan hutan sebagai representasi budaya dan masyarakat mereka, mereka tidak hanya menegaskan ikatan dengan para leluhur dan tanah yang pernah dihuni nenek moyang, tetapi sekaligus juga menciptakan jarak dengan Yang Lain, baik yang hidup di dalam maupun di luar wilayah Minahasa.
Meskipun dewasa ini makanan pokok sehari-hari adalah ikan (di samping nasi) dan jumlah orang Minahasa yang bekerja sebagai nelayan cukup banyak, status kegiatan menangkap ikan tidak setinggi bertani dan bercocok tanam. Komunitas petani menjaga jarak mereka dari komunitas nelayan untuk sejumlah alasan. Hak atas tradisi mempunyai ikatan dengan leluhur dan kepemilikan tanah. Memancing bukan saja pekerjaan yang ’tidak tradisional’ (dengan demikian ikan tidak dianggap sebagai makanan khas Minahasa) tetapi juga biasanya dilakukan oleh mereka dengan luas tanah yang tidak seberapa atau bahkan tidak memiliki tanah sama sekali.[7] Lebih lanjut lagi, mayoritas orang Mus-lim di Minahasa menempati daerah pesisir, tinggal di pemukiman nelayan dan bekerja sebagai nelayan. Perpecahan antara petani dan nelayan, meskipun tidak selalu dan sama di semua tempat, adalah perpecahan antara orang tradisional ver-sus non-tradisional, pemilik tanah versus yang tak memiliki tanah, Minahasa versus non-Minahasa serta Kristen versus Muslim.