Loading...
Wacana

Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner

You are what you eat. Demikian sebuah pepatah menjelaskan bahwa karakter seseorang dipengaruhi oleh apa yang ia makan. Pepatah ini seakan juga menjadi penegas bahwa makanan juga bisa menentukan identitas suatu kelompok.

Nah, kali ini Redaksi menurunkan sebuah artikel yang cukup panjang dari Gabriele Weichart dari University of Heidelberg. Artikel ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Antropologi Indonesia.

Latar belakang

’Kenapa Anda memilih melakukan penelitian tentang makanan, sebuah topik yang sederhana, dan tidak memilih isu-isu yang lebih penting dalam masyarakat Minahasa?’ Pertanyaan tersebut diajukan kepada saya usai memberi ceramah di Universitas Kristen Indonesia di Tomohon. Saat itu tahun 2002 dan tenggat waktu masa penelitian lapangan saya makin mendekat. Munculnya pertanyaan yang seperti itu tidak mengejutkan saya karena sarjana-sarjana Barat pun terkadang mengalami kesulitan menerima dan melihat adanya sesuatu yang berharga dalam preokupasi akademis dengan kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang saya, sikap demikian lebih mencerminkan ciri-ciri tertentu dalam tradisi intelektual Barat daripada relevansi penelitian itu sendiri. Tradisi intelektual Barat (yang juga dapat ditemukan di Indonesia) lebih mendahulukan pikiran (mind) di atas tubuh (body) dan tidak memasukkan urusan sehari-hari dalam agenda penelitian. ’remeh-temeh’ macam itu, yang kerap dikategorikan sebagai bagian dari ‘ranah domestik’, dianggap sebagai bidang penelitian para perempuan peneliti.

Melalui makalah ini saya akan menunjukkan bahwa makanan tidak harus dan tidak semata merupakan bagian ranah ’pribadi’, ’domestik’ atau ’perempuan’. Justru sebaliknya, proses produksi, distribusi, dan konsumsi bahan makanan adalah bagian dari kehidupan ’publik’ (jika ingin bertahan dengan dikotomi klasik ini) dan dengan demikian memiliki arti sosial, ekonomis, dan politis. Meski saya tidak pernah meragukan hal ini, bahkan sebelum memulai penelitian lapangan di Minahasa, saya tetap terkejut melihat penekanan yang diberikan or-ang daerah tersebut pada makanan dan nutrisi sebagai determinan utama kehidupan sosial dan identitas.

Kesukuan biasanya digunakan sebagai latar depan dalam wacana-wacana mengenai identitas kolektif di Minahasa. Ketegangan politis dan agama, bahkan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di provinsi-provinsi tetangga dan di daerah-daerah lain Indonesia menambah pengidentifikasian dan pembedaan berdasar-kan suku. Berada di daerah kantong Kristen dalam negara dengan penduduk mayoritas Muslim, masyarakat Minahasa menekankan berbagai tingkat, yang juga saling tumpang tindih, dalam wacana-wacana mereka. Pertama, mereka menekankan adanya perbedaan dari orang Muslim secara umum. Kedua, perbedaan dari masyarakat di daerah lain Indonesia, dan ketiga, di tingkat politis, dari pemerintah pusat di Jakarta.

Dalam tulisan ini pertama-tama saya akan mengulas sejarah identitas suku Minahasa. Akan jelas terlihat bahwa beberapa variabel memiliki peran penting dalam proses pembentukan dan pemeliharaan identitas. Kebiasaan-kebiasaan seputar makanan, yang telah dikenal di luar batas wilayah Minahasa, hanyalah salah satu, walaupun penting, kategori yang telah berfungsi sebagai kendaraan untuk menemukan (invent ), membentuk, mewakili, dan membenarkan identitas mereka dan batas-batas dengan Yang Lain (Others). Tradisi dan kebiasaan masa kini sehubungan dengan makanan dan kegiatan makan dapat dikaitkan dengan penanda utama dari identitas Minahasa seperti tanah, nenek moyang, sejarah pascakolonial, dan agama. Dalam artikel ini argumen-argumen saya akan didukung oleh contoh-contoh spesifik makanan yang digemari dan kerap disantap masyarakat Minahasa, yang dengan demikian menunjukkan kompleksitas identifikasi dalam kaitannya dengan kegiatan keseharian. Saya juga akan menunjukkan bahwa dalam konteks desentralisasi politik, konflik, dan kekerasan, ketika gagasan tentang ’identitas’ dan ’perbedaan’ menjadi isu sentral dalam wacana publik maupun pribadi, tradisi makanan dan kebiasaan makan memainkan peranan penting dalam mendefinisikan dan memperkuat ’kesamaan’ dan ’perbedaan’ antara populasi Kristen dengan Muslim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *