Kisah Pecahnya Puak Tanah Kutai
Disinilah awal terbaginya dua golongan atau kelompok suku asli di Tanah Kutai, yakni Suku Dayak dan Suku Kutai (haloq). Haloq adalah sebutan bagi Suku Dayak atau suku asli Tanah Kutai yang keluar dari adat/budaya/kepercayaan nenek moyang ( Adat, budaya, serta kepercayaan nenek moyang tersebut masih terlihat dari ciri khas Suku Dayak saat ini). Mereka yang behaloq ( Meninggalkan adat ) lebih menerima dan mau berbaur dengan pendatang akibatnya masyarakat ini lebih sering dijumpai di daerah pesisir.
Sebutan haloq mulai timbul ketika suku-suku dari puak-puak kutai di atas mulai banyak meninggalkan kepercayaan lama salah satunya adalah dengan taat pada ajaran Islam, karena adat istiadat, budaya, dan kepercayaan dari suku asli Tanah Kutai tersebut banyak yang bertentangan dalam ajaran Islam. Kemudian karena puak pantun, punang, dan melani sebagian besar meninggalkan adat atau kepercayaan lama mereka, maka mereka mulai di sebut ‘orang haloq’ oleh puak lain yang masih bertahan dengan kepercayaan lamanya (kepercayaan nenek moyang). Dan puak yang masih bertahan dengan adat/kepercayaan lamanya sebagian besar adalah puak sendawar (puak tulur jejangkat), meskipun sebagian kecil ada juga suku dari puak sendawar yang meninggalkan adat lama (Behaloq). Sejak itulah orang haloq dan orang yg bukan haloq terpisah kehidupannya, karena sudah berbeda adat istiadat.
Lambat laun orang haloq ini menyebut dirinya ‘orang kutai’ yang berarti orang yang ada di benua Kutai atau orang dari wilayah Kerajaan Kutai. Sejak itu lah kutai lambat laun mulai menjadi nama suku, yang mana suku kutai ini berasal dari puak pantun, punang, pahu dan melani dan sebagian kecil puak sendawar. Sekarang Suku Kutai sudah banyak bercampur dengan etnis lain. Terlihat dari budayanya yang merupakan hasil akulturasi dari beberapa budaya suku lain. Terutama Kutai Kartanegara yang berasal dari Jawa dan bercampur dengan suku asli tanah kutai (saat ini disebut Suku Dayak) tersebut.
Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan dengan adat/kepercayaan lama kemudian berpencar membentuk kelompok-kelompok suku pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi suku Tunjung dan Benuaq. Mereka adalah suku yang disebut Suku Dayak pada masa kini. Dayak adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang Belanda dan peneliti asing, di mana mereka menyebut suku – suku asli yang mendiami pedalaman Kalimantan. Sehingga istilah dayak sendiri sebenarnya bukan berasal dari leluhur orang Kalimantan itu sendiri. Oleh karena itu masih ada beberapa dari Suku Dayak enggan disebut Dayak. Mereka lebih memilih disebut subsukunya, seperti orang Tunjung—orang Benuaq.
Jadi yang disebut Suku Kutai sekarang ini adalah suku dari puak pantun, punang, pahu dan melani yang mudah berakulturasi dengan pendatang dan perlahan meninggalkan adat lamanya. Sedangkan Suku Dayak Tunjung dan Benuaq adalah dari puak sendawar yang tetap teguh memegang keyakinan leluhur. Jadi Suku Kutai bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah suku melayu tua, sama seperti Suku Dayak. Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu muda hanya berdasarkan Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan “darah” (melayu tua).
Problematika klasifikasi Dayak atau Melayu
Perubahan Suku Kutai secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya yaitu Suku Lawangan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih “beradab”, membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Kutai dengan cepat. Istilah “haloq” yang melekat pada Suku Kutai yang berarti “meninggalkan adat lawas” digunakan sebagai kebanggaan bagi yang be”halooq”. Tapi bagi Tunjung-Benuaq istilah itu sebagai stigma karena tidak menghargai warisan leluhur. Sehingga Kutai kehilangan jejak Kaharingan / Lawangan, walaupun sebagian kecil ada yg tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Kutai adalah Melayu, padahal tidaklah demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal Suku Kutai. Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan samar. Peneliti sering kali mengklasifikasikan berdasarkan bahasa, sedangkan menurut orang Kutai dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan yang mengklasifikasikan golongan berdasarkan budaya dan sejarah budayanya serta geneologi.