Minangkabau atau disingkat Minang merupakan kelompok etnik pribumi Nusantara yang menghuni Dataran Tinggi Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Secara geografis, persebaran etnik Minangkabau meliputi seluruh daratan Sumatra Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatra Utara, barat daya Aceh dan Negeri Sembilan di Malaysia. Minangkabau merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa, adat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan identitas agama Islam. Dalam percakapan awam, orang Minang sering kali disamakan sebagai orang Padang. Hal ini merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatra Barat, yaitu Kota Padang. Namun, mereka biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak. Awak itu sendiri berarti saya, aku atau kita dalam percakapan keseharian orang Minang. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan urang awak itu adalah orang Minang itu sendiri.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih merujuk kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyuang, menyatakan bahwa Minangkabau ialah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kelak penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Alquran) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris dari tradisi lama Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Diaspora Minang pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, Bandar Lampung dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang terkonsentrasi di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney dan Melbourne. Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang yang sangat digemari di Indonesia bahkan mancanegara.
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata yaitu, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Singasari) yang datang dari laut dan akan melakukan penaklukkan. Kemungkinan ini merujuk pada upaya mereka untuk menaklukkan kerajaan Malayu Dharmasraya saat ekspedisi Pamalayu (1275). :99–100 Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang masih menyusui. Dalam pertempuran, anak kerbau yang masih menyusui tersebut menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan “Manang kabau” (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Pariangan menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama bertanggal 1365, juga telah menyebutkan nama “Minangkabau” sebagai salah satu dari negeri yang ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing. Di sisi lain, nama “Minang” (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari “Minānga” …. Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (…minānga) dan ke-5 (tāmvan….) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi “mināngatāmvan” dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa “tāmvan” tidak ada hubungannya dengan “temu”, karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu, kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Asal usul
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatra sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatra, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai digunakan untuk membedakan budaya matrilineal yang tetap bertahan pada etnis Minang, berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu pada umumnya. Kemudian, pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik hingga saat ini.