Loading...
Wacana

Orang Minang

Minangkabau perantauan

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek moyang karatau madang di hulu babuah babungo balun (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud satinggi-tinggi tabangnyo bangau baliaknyo ka kubangan juo (setinggi-tingginya bangau terbang, kembalinya ke kubangan lagi). Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.

Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasil usahanya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti masjid, jalan, ataupun pematang sawah. 

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatra Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%.  Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatra Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.

Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatra Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.

Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut.  Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.

Gelombang rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.  Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatra. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatra. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu, hingga Lampung.  Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.  Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatra Timur mulai dibuka. Pasca-kemerdekaan, para perantau Minang telah bermukim di setiap kota-kota besar di Indonesia, serta di Kuala Lumpur, Penang, dan Singapura. Diluar Asia Tenggara, Minang perantauan banyak dijumpai di Arab Saudi, Australia, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat. Sebagian besar mereka menjadi ekspatriat, pelajar, dan pedagang.

Pantai Barat Sumatra

Kawasan pantai barat Sumatra telah berabad-abad menjadi wilayah tujuan rantau orang Minangkabau, diantaranya merantau ke pesisir barat Aceh, Tapanuli, dan Bengkulu. Oleh penduduk setempat mereka tidak disebut sebagai orang Minangkabau, melainkan Aneuk Jamee (Aceh), Suku Pesisir (Tapanuli), dan Suku Mukomuko (Bengkulu).

Aneuk Jamee merupakan suku bangsa yang mendiami pesisir barat Aceh. Dari segi bahasa, mereka berbahasa Aneuk Jamee, yang merupakan hasil asimilasi bahasa Minangkabau dengan bahasa setempat. Menurut sejarah, mereka berasal dari Ranah Minang yang pada waktu itu masih dalam kekuasaan Kesultanan Aceh. Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti ‘anak tamu’ atau ‘pendatang’.  Umumnya mereka tinggal di sekitar Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya, dan sebagian kecil Meulaboh, Aceh Barat.

Suku Pesisir (disebut juga Ughang Pasisia) adalah kelompok masyarakat yang tersebar di pesisir barat Sumatra Utara, terutama di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Suku Pesisir merupakan penduduk Minangkabau yang bermigrasi ke Tapanuli sejak abad ke-14 dan telah bercampur baur dengan orang Melayu, Mandailing, dan Batak Toba. Penamaan Suku Pesisir untuk kelompok ini tidak pernah dikenal hingga abad ke-20. Istilah ini dipakai untuk membedakan kelompok masyarakat di pesisir barat Sumatra Utara dengan masyarakat Batak di pedalaman. Menurut ruang geografis etnisitas yang disusun oleh Collet (1925), Cunningham (1958), Reid (1979) dan Sibeth (1991), di pesisir barat Sumatra Utara terdapat kelompok masyarakat yang bukan dari etnis Batak.

Suku Mukomuko merupakan bagian dari rumpun Minangkabau yang menghuni daerah Mukomuko, Bengkulu.  Secara adat, budaya, dan bahasa, Mukomuko berkaitan erat dengan masyarakat Pesisir Selatan di Sumatra Barat.  Dahulu daerah Mukomuko termasuk daerah Riak nan Badabua yakni daerah sepanjang Pesisir Pantai Barat dari Padang sampai Bengkulu Selatan. Namun wilayah Mukomuko sejak masa kolonial Inggris telah dimasukkan ke dalam administratif Bengkulu (Bengkulen). Sejak saat itu orang Mukomuko telah terpisah dari masyarakat serumpunnya di daerah Sumatra Barat dan menjadi bagian integral dari wilayah Bengkulu. Hal ini berlangsung terus pada masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga masa kemerdekaan. 

Riau

Suku Kampar atau oleh masyarakatnya disebut Ughang Kampar atau Ughang Ocu, merupakan kelompok etnik yang mendiami Kabupaten Kampar, Riau yang berbahasa Kampar.  Mereka dapat ditemukan juga di sebagian besar daerah Riau, seperti Siak, Bengkalis, Ujung Batu, Pelalawan, Selat Panjang, dan lain-lain. Selain itu masyarakat Kampar telah banyak yang bermukim di Malaysia, seperti di Kuantan (Pahang), Sabak Bernam, Teluk Intan, dan Negeri Sembilan.

Orang Kuantan merupakan kelompok yang tinggal di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Secara adat, budaya, dan bahasa memiliki persamaan dengan masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, khususnya di Sijunjung yang berbatasan langsung dengan daerah Kuantan. Kuantan Singingi merupakan daerah rantau dari Luhak Tanah Datar yang bernama Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah. Seperti juga suku Kampar, masih terdapat kontroversi mengenai keterkaitannya dengan orang Minangkabau.

Semenanjung Malaya

Masyarakat Minangkabau telah turun temurun mendiami Semenanjung Malaya, Malaysia. Diantaranya paling banyak menghuni Negeri Sembilan. Pada awal abad ke-14, orang-orang Minangkabau datang ke Negeri Sembilan melalui Melaka hingga sampai ke Rembau. Orang Minangkabau ini hidup bersama dengan penduduk setempat yaitu, Orang Asli secara damai. Karena hal inilah, terjadi pernikahan antara orang Minangkabau dan penduduk asli sehingga keturunan mereka membentuk suku yang disebut dengan suku Biduanda. Suku Biduanda inilah yang menjadi pewaris utama Negeri Sembilan dan apabila dilakukan pemilihan pemimpin, maka hanya dari suku Biduanda inilah yang akan dipilih. Orang Minangkabau yang datang kemudian membentuk suku-suku berdasarkan daerah asal mereka di Minangkabau. Pada gelombang awal kebanyakan datang dari Tanah Datar dan Limapuluh Kota.  

Dari suku Biduanda inilah asalnya pembesar-pembesar Negeri Sembilan yang dipanggil “Penghulu” dan diistilahkan menjadi Undang. Sebelum terdapat institusi Yang di-Pertuan Besar, masyarakat Negeri Sembilan berada di bawah naungan Kerajaan Melayu Johor. Dalam kesehariannya, mereka menuturkan bahasa Negeri Sembilan (baso Nogoghi). 

Gelombang perantau Minangkabau berikutnya yang tiba di Malaya terjadi pasca Perang Paderi. Salah satu komunitas yang cukup besar adalah orang Rao (Ughang Rawo) atau yang di Malaysia dikenal sebagai “Orang Rawa”. Orang Rao bermigrasi ke beberapa daerah di Malaya, antara lain ke Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Perak dan Selangor.   Sejak pertengahan abad ke-19, ramai pula orang Minang yang merantau ke Kuala Lumpur. Tujuan utama mereka ke kota tersebut adalah hendak berdagang. Sehingga banyak pedagang Minang yang menjadi peneroka awal Kuala Lumpur, diantaranya adalah Mohamed Taib bin Haji Abdul Samad.

Jawa

Dibandingkan dengan Semenanjung Malaya, migrasi besar-besaran orang Minang ke pulau Jawa relatif baru. Meski tujuan utama mereka adalah Jakarta Raya, namun perantau Minang juga banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Surakarta, dan Tasikmalaya, dimana mereka memiliki perkumpulan yang cukup solid. Pada tahun 1961, jumlah perantau Minang di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali,  dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.

Perantauan intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.

Sebab merantau
Faktor budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.

Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.  Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.  Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Faktor ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil. 

Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.  Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatra karena hal ini.

Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatra telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatra yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatra, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau. 0

Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang 0 dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung. 0 Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatra dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.

Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas. 0 Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatra. 0

Faktor perang

Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers.

“Orang Minang merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa”.

Audrey R. Kahin

Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri,  muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. 0 Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.  Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung. 0 Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.

Merantau dalam sastra

Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.[butuh rujukan

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *