Nama Bugis di tanahnya sendiri sudah mengalami penurunan yang dramatis semenjak akhir abad ke-20. Akan tetapi, bagi beberapa orang Bugis yang tinggal di perantauan, nama Bugis justru digunakan sebagai peneguh identitas kultural, sekaligus sebagai pengingat kampung halaman.
Mengabadikan Identitas Bugis Melalui Nama
Sabda Tarotrinarta, seorang dosen ilmu komunikasi Universitas Tadulako, berasal dari Makassar. Saat ini ia tinggal di Palu, Sulawesi Tengah. Untuk meneguhkan identitas Bugisnya, ia menamai anaknya dengan nama Bugis: Jiwa Labbiri Tarotrinarta. Dalam bahasa Bugis, kata “labbiri” bermakna mulia. Menurutnya, salah satu hal yang bisa digunakan untuk menjaga nilai identitas kedirian adalah dengan melestarikan bahasa Bugis dalam nama.
Meskipun ada banyak orang yang mengadaptasi nama asing, ia lebih memilih tak mengikuti trend penamaan yang berlangsung. Baginya, sebagai perantauan ia membutuhkan revitalisasi identitas kultural yang bisa diabadikan melalui nama anak-anak, agar mereka tidak pernah lupa dari mana berasal, dan selalu memiliki tempat untuk pulang kembali.”
Pengingat Kampung Halaman
Ahmad Syarif Makkatutu bermukim di Jakarta. Meskipun demikian, hal itu tak membuatnya lupa dengan kampung halaman. Ia masih menyelipkan unsur Bugis pada nama anaknya: Samasta Tumbuh Pallawarukka. Ia memadukan tiga unsur linguistik penamaan: Samasta berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti disatukan, sementara “pallawarukka” dalam bahasa Bugis bermakna peredam bising. Semuanya serasi mengapit salah satu kosa kata yang selalu berkonotasi positif dalam bahasa Indonesia. Ia menginginkan agar anaknya tidak lupa jatidirinya sebagai keturunan Bugis.