Pada masa lalu, nama Jawa sering dikenali dari awalan “su” dan akhiran “o”, karena banyak tokoh terkenal dari Jawa yang demikian, seperti Sukarno, Suharto, Sutomo, dan lain-lain. Akan tetapi, nama Jawa sebenarnya lebih kompleks dari itu. Dalam masyarakat Jawa yang dianggap feodal terdapat struktur sosial yang terekspresikan melalui nama. Masyarakat Jawa dari kelas rendah biasanya memberi nama-nama sederhana kepada anak-anak mereka, sementara kaum ningrat lebih cenderung menggunakan nama pewayangan (Koentjaraningrat, 1984). Konstruksi budaya ini ditegakkan melalui mitos kutukan “kabotan jeneng” (Poensen, 1870): bagi masyarakat kelas rendah yang melanggarnya, anaknya akan menderita karena nama yang disandangnya terlalu berat. Sementara itu, masyarakat santri (Muslim yang taat) cenderung menggunakan nama Arab (Geertz, 1960).
Akan tetapi, pertumbuhan kelas menengah baru pada era 1990-an mengubah konstruksi sosial itu. Konsolidasi kekuasaan Orde Baru semenjak awal 1970-an telah berhasil memperluas pemerataan pendidikan (Oey-Gardiner, 1997), sehingga anak-anak dari masyarakat kelas rendah bisa menikmati pendidikan tinggi, sehingga mereka tumbuh menjadi kelas menengah baru yang lebih educated dan makmur. Mereka tumbuh menjadi generasi orangtua yang lebih accessible terhadap khazanah linguistik penamaan yang lebih luas. Akibatnya, mereka mulai meninggalkan tradisi lama penamaan Jawa yang dianggap sarat dengan unsur feodalistik, dan mengadaptasi nama-nama baru yang diadopsi dari khazanah linguistik penamaan dari berbagai bangsa (terutama Arab dan Eropa) untuk membentuk sebuah tradisi penamaan yang berperspektif masa depan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satu representasi budaya Jawa yang paling otentik, juga terjadi hal serupa (Kuipers & Askuri, 2017). Penduduk di wilayah ini semakin banyak menyematkan nama “import”. Sebagai Daerah Istimewa yang salah satu keistimewaannya ialah budaya Jawa, tentu hal ini patut menjadi perhatian serius, agar representasi budaya Jawa bisa dipertahankan melalui penamaan. Oleh karena itu, riset ini mendorong tumbuhnya kebijakan untuk konservasi nama Jawa melalui policy paper berikut ini: