Loading...
Analisis

Antropologi Penamaan Masyarakat Bugis-Makassar

Ini Budi

Ini Ibu Budi

Ini Bapak Budi

Budi bermain bola

Beberapa kalimat di atas merupakan salah satu materi dalam pelajaran Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar di sekolah dasar yang populer pada tahun 1980-an. Materi pelajaran ini diciptakan oleh Siti Rahmani Rauf (seorang guru dan penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar), dan bukunya diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan menjadi metode yang sangat populer di Indonesia, digunakan di hampir semua sekolah dasar di negeri ini, antara tahun 1980-an sampai 1990-an. Metode ini sangat akrab dengan dengan anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah dasar pada era 1980-an.

Metode tersebut menjadi bermasalah ketika dikontekstualisasikan dengan identitas budaya masyarakat multikultur yang turut membangun ke-Indonesiaan. Nama Budi merupakan nama Jawa yang menjadi populer karena metode tersebut diimplementasikan di seluruh pendidikan dasar di Indonesia. Di Sulawesi Selatan, dimana menjadi basis masyarakat suku Bugis, Makassar, Toraja, dan suku-suku lainnya, nama lokal yang berbasis tradisi penamaan dalam masyarakat suku tersebut menjadi tidak populer. Akibatnya, nama-nama lokal tersebut menjadi semakin ditinggalkan masyarakatnya karena diangap kuno dan kampungan. Oleh karena itu, pada tahun 2013, Menteri Pendidikan Muhammad Nuh (di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menghapuskan nama “Budi” dari buku pelajaran Kurikulum 2013 untuk mengakomodasi keragaman nama di Indonesia: Ada si Edo yang keriting dari Papua; si Siti gadis Jawa yang berjilbab, si Dayu dari Bali, si Lani yang sipit keturunan Tionghoa, atau si Beni orang Batak (Muhammad Nuh, dalam sambutannya pada saat peluncuran Kurikulum 2013).

1. LATAR BELAKANG

Munculnya generasi baru orangtua yang semakin terdidik semenjak era 1980-an membuka cakrawala literasi masyarakat suku di Nusantara, termasuk Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan mereka menjadi semakin terbuka dengan budaya dan kosa kata baru yang menekan perbendaharaan nama yang menjadi basis tradisi mereka, sehingga nama anak-anak mereka semakin banyak mengadopsi nama lokal yang selama ini menjadi salah satu basis identitas kultural mereka sebagai masyarakat suku yang turut membangun identitas nasional.

Lunturnya budaya penamaan yang menjadi menjadi basis identitas budaya masyarakat suku di Sulawesi Selatan perlu menjadi perhatian negara, terutama representasi negara di wilayah ini, yaitu Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, perlu ada upaya konservasi budaya penamaan pada tingkat yang paling substantif, yaitu melalui pendidikan, agar anak-anak yang mengenyam pendidikan tetap mengenal nama-nama khas yang basis tradisi masyarakat suku mereka dan dalam 15 atau 20 tahun yang akan datang, ketika mereka berkeluarga dan memiliki anak, hal ini turut mempengaruhi mereka dalam memberikan nama pada anak-anak mereka.

Policy paper ini dimaksudkan untuk menginisiasi upaya konservasi perbendaharaan nama lokal agar tetap menjadi bagian integral masyarakat di era millenial ini. Diharapkan, hal ini bisa mempengaruhi kebijakan representasi negara di wilayah Sulawesi Selatan, yaitu Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

A. Antropologi Penamaan dalam Masyarakat Suku di Sulawesi Selatan

Provinsi Sulawesi Selatan diwarnai kehidupan multi-etnis, karena yang mendiami wilayah ini secara turun-temurun terdiri atas banyak suku, di antaranya ialah Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, Pattinjo, Maiwa, Endekan, Pattae, dan Kajang/Konjo. Di samping itu, ada banyak pula pendatang baru dari berbagai suku di Indonesia, seperti Jawa, Minang, Melayu, dan lain-lain. Akan tetapi, di antara suku-suku yang ada di wilayah ini, hanya ada 3 suku yang memiliki populasi besar di wilayah ini, yaitu suku Bugis, Makassar, dan Toraja.

Sesuai dengan basis etnisitas yang ada, ada beberapa bahasa daerah yang masih eksis di Sulawesi Selatan. Bahasa Makassar masih dituturkan oleh masyarakat Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, sebagian Bulukumba, sebagian Maros, dan sebagian Pangkep. Sementara bahasa Bugis merupakan bahasa yang paling banyak dipakai oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, dan masih digunakan secara aktif di daerah Bone sampai ke Kabupaten Pinrang, Sinjai, Barru, Pangkep, Maros, Kota Pare Pare, Sidrap, Wajo, Soppeng, sampai Enrekang. Bahasa Pettae digunakan oleh masyarakat di daerah Tanah Luwu, mulai dari Siwa, Kabupaten Wajo, dan Enrekang Duri, bahkan sampai ke Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara). Sedangkan bahasa Toraja banyak digunakan oleh masyarakat Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara dan sekitarnya. Selain itu, sebagian besar pengguna bahasa Mandar sudah terpisahkan menjadi provinsi sendiri, yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Mereka tersebar di Kabupaten Mamuju, Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju Utara.

Sementara itu, di kalangan masyarakat suku di Sulawesi Selatan terdapat juga bahasa Massenrempulu. Bahasa ini memiliki tiga kelompok dialek di Kabupaten Enrekang, yaitu dialek Duri, Endekang, dan Maiwa. Kelompok dialek bahasa Duri memiliki kedekatan dengan bahasa Toraja dan bahasa Tae’ Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah perbatasan Tana Toraja. Kelompok dialek bahasa Endekang mempunyai penutur di ibu kota Kabupaten Enrekang dan beberapa kecamatan sekitarnya. Sedangkan penutur kelompok dialek bahasa Maiwa terdapat di Kecamatan Maiwa dan di Kecamatan Bungin (Maiwa Atas). Selain itu, ada juga bahasa Konjo. Bahasa Konjo terbagi menjadi dua kategori, yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo Pegunungan. Bahasa Konjo Pesisir digunakan oleh masyarakat suku Kajang yang tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan sekitarnya, serta di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi. Sedangkan bahasa Konjo pegunungan diunakan masyarakat Kajang yang tinggal di kawasan tenggara gunung Bawakaraeng.

Oleh karena suku Bugis dan Makassar merupakan entitas yang paling dominan di Sulawesi Selatan, maka paparan ini mencoba menggambarkan perubahan dalam aspek onomastics (penamaan) sebagai entry point yang signifikan terhadap tujuan policy paper ini. Secara tradisional, masyarakat suku Bugis-Makassar terklasifikasi ke dalam beberapa kelas sosial: (1) Arung dan Anakarung (golongan raja dan kerabat keluarganya); (2) To Maradeka, yaitu golongan orang biasa dan merupakan bagian terbesar dari warga masyarakat; dan (3) golongan Ata, yaitu golongan budak akibat kalah perang, melanggar peraturan/norma-norma adat, dan atau tidak membayar hutang pada orang lain [ (Fredericy, 1930)[1] (Mattulada, 1991)[2] (Makmur, 2016)]. Dalam perkembangannya, seiring dengan dinamika masyarakat, golongan Ata akhirnya mengalami kenaikan status kelas, sehingga struktur kelas masyarakat Bugis-Makassar hanya menyisakan 2 kelas sosial, yaitu golongan bangsawan dan kelas orang biasa. Seiring dengan dinamika sosial yang mengiringi modernisasi dan pertumbuhan kelas menengah, perbedaan di antara 2 kelas sosial tersebut juga semakin tidak signifikan, meskipun masih tetap terasa perbedaannya.

Dalam tradisi masyarakat suku Bugis-Makassar, konsep kelas sosial ini menjadi salah satu konsep utama yang membangun struktur masyarakat. Konsep ini ditanamkan dalam masyarakat melalui berbagai instrumen budaya, termasuk bahasa.

Nama diri merupakan salah satu instrumen bahasa yang digunakan untuk menanamkan konsep kelas dalam masyarakat suku Bugis-Makassar. Dalam perspektif linguistik kritis, nama diri bisa dikategorikan sebagai sebuah fitur linguistik yang mengandung informasi signifikan tentang masyarakatnya. Ia bisa mengungkapkan dimensi ideologis masyarakat (Fowler, 1986). Konstruksi tekstual dalam nama diri (termasuk komposisi sintaksis, semantik, dan fonologi) dapat mengarahkan pada pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan sosial, kelembagaan, dan dimensi ideologis dalam proses produksi serta penerimaan (Fairclough, 1989). Oleh karena itu, sejumlah besar nama diri dalam suatu masyarakat bisa digunakan untuk mengkonstruksikan struktur sosial dalam masyarakat tersebut (Askuri & Kuipers, 2018), karena nama bisa merefleksikan klasifikasi sosial [ (Lévi-Strauss, 1966) (Lévy-Bruhl, 1926 [1912]) (Mauss, 1985 [1938])].

Bagi masyarakat suku Bugis dan Makassar, nama memiliki arti yang sangat penting. Di samping menjadi penanda dan sebutan bagi seseorang, nama juga menjadi simbol status dan kelas sosial. Dalam terminologi Makassar, nama disebut areng, dan dalam bahasa Bugis disebut sennu. Dengan demikian, bagi masyarakat Bugis-Makassar, nama merupakan sennunu’ sennuangeng, artinya sesuatu yang padanya ditaruh harapan-harapan kebaikan.

Dalam banyak hal, areng atau sennu dianggap sebagai sesuatu yang sangat sakral. Misalnya, seorang anak tidak boleh menyebut langsung nama orang tuanya atau siapapun orang yang dituakan dan dihormati. Begitu pula seorang isteri tidak boleh menyebut langsung nama suaminya. Akibat kesakralan nama orang-orang yang terhormat ini, masyarakat Bugis-Makassar seringkali tak mengetahui nama asli seorang raja atau orang yang mereka hormati, karena mereka hanya mengetahui nama gelar dan wilayah kekuasaannya saja, seperti Karaeng Galesong, Karaeng Segeri, Karaeng Binamu, Karaeng Bonto-bonto, Karaeng Pangkajene, Arung Tanete, Arung Tanete, Arung Palaka, dan sebagainya. Orang lebih mengenal Syekh Yusuf daripada nama aslinya, yaitu Tuanta Salamaka. Demikian juga orang lebih mengenal Sultan Hasanuddin atau Karaeng Gowa daripada nama aslinya, yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang. Ada semacam perasaan takut adanya kutukan (mabusung) jika menyebut nama asli orang-orang yang dihormati.

Dalam tradisi penamaan masyarakat suku Makassar terdapat tradisi perubahan nama (Renaming System) yang mencerminkan kelas sosial. Setiap anggota masyarakat suku Makassar memiliki beberapa nama sepanjang perjalanan hidupnya sesuai dengan pencapaian hidupnya. Setidaknya, ada beberapa jenis penamaan yang berlaku sepanjang perjalanan hidup seseorang dalam masyarakat suku Makassar:

Areng DondoDondo

Setiap anak yang baru dilahirkan biasanya dijuluki berdasarkan ciri-ciri fisik ketika ia baru saja dilahirkan. Dalam terminologi Makassar, nama julukan ini disebut disebut areng dondodondo, yaitu pemberian nama berdasarkan keadaan si anak atau kondisi pada saat si anak baru dilahirkan. Misalnya, kalau si bayi yang baru saja dilahirkan memiliki ciri fisik kulit putih dan rambut kecoklatan, maka ia dijuluki I Balanda. Kalau anak itu bermata sipit, maka kemungkinan akan dipanggil I Cina atau I Japang.

Areng dondo-dondo ini juga bisa digunakan untuk menggambarkan keadaan ketika si anak lahir. Misalnya, jika si anak dilahirkan terjadi musibah kelaparan, maka ia biasanya dinamai I Pare (pa’re merupakan kata Makassar kuno, artinya kelaparan). Di samping itu, areng dondo-dondo juga bisa digunakan untuk menandai tempat yang dikunjungi oleh orangtuanya ketika si anak dilahirkan. Misalnya, ketika si anak lahir pada saat orangtuanya sedang menunaikan ibadah haji, maka ia diberi nama I Makka (untuk anak laki-laki) atau I Madinah (untuk anak perempuan).

Jika tidak terjadi mabusung (kutukan) terhadap si anak (ia tetap sehat dan selamat), maka areng dondo-dondo ini biasanya tidak diganti lagi, sehingga menjadi nama diri si anak. Demikian juga jika si anak merasa nyaman dengan nama itu dan tidak terdengar janggal, maka areng dondo-dondo ini juga ditetapkan sebagai nama diri.

Areng Rikale

Ketika si anak sudah mencapai usia 6-7 tahun, atau sudah saatnya mulai menimba ilmu, maka ia pun diberi areng rikale, yaitu nama diri. Biasanya, nama yang dipilih ialah kata yang diawali kata “Mappa”, seperti Mappaio, Mappatahang, Mappangara, Mappanyukki, Mappasengka, dan lain-lain. Ada pula yang memilih nama-nama yang berawalan “Man” dan berakhiran i, misalnya Mangngarengi, Mannaungi, Mallombasi, Manrakkai, Manggasingi, dan lain-lainnya.

Jika tidak terjadi mabusung (kutukan) terhadap si anak (ia tetap sehat dan selamat), maka areng dondo-dondo ini biasanya tidak diganti lagi, sehingga menjadi nama diri si anak. Demikian juga jika si anak merasa nyaman dengan nama itu dan tidak terdengar janggal, maka areng dondo-dondo ini juga ditetapkan sebagai nama diri. Areng dondo-dondo yang mengadopsi nama-nama benda biasanya ditetapkan sebagai areng rikale, seperti I Bulu, I Binanga, I Tamparang, I Bara’, I Boning, dan lain-lain (bagi anak laki-laki). Bagi anak perempuan, biasanya mengadopsi nama-nama bunga, seperti I Rosi, I Kananga, I Malati, dan lain-lain. Selain nama bunga, ada juga nama yang diadopsi dari benda-benda yang indah, seperti I Baraliang, I Jamarro, I Peroso, I Baiduri, I Nillang, dan lain-lain; ada pula nama-nama yang diadopsi dari kain yang indah, seperti I Dewangga, I Satting, I Sohalla, I Tjaulu, dan lain-lain; atau nama-nama benda yang indah lainnya, seperti I Bulaeng (emas), I Satanggi (setranggi), I Kamannyang (kemenyan), I Kalaru dan I Sakati (keduanya nama gelang pakaian perempuan bangsawan), I Cincing (cincing), dan lain-lain.

Karena masyarakat Makassar pada umumnya merupakan masyarakat Muslim, maka banyak juga areng rikale yang dipilih berasal dari nama Arab. Misalnya, Areng Nabbi (nama nabi), seperti Adam, Daud, Isa, Ibrahim, Muhammad dan lain-lain. Ada juga yang memilih pemimpin Islam lainnya, seperti Abu Bakar, Usman, Ali, Umar, Ghazali, dan lain-lain. Demikian pula ada yang memilih salah satu dari Areng Arab, seperti Abdurrahman, Abdurrahim, Abdul Kadir, Abdurrajab, dan lain-lain. Kepada anak perempuan diberikan areng baine (nama perempuan) dalam bahasa arab, seperti Fatimah, Maemunah, Hadijah, Aisyah, Rabiah, Maryam, dan lain-lainnya.

Areng Paddaengang

Setelah mencapai usia dewasa, tiba gilirannya si anak mendapatkan gelar sesuai pencapaian hidupnya. Gelar ini disebut areng paddaengang. Mereka yang diberi nama gelar ini disebut tau rua arenna, artinya orang yang berhak memiliki dua nama. Biasanya, mereka berasal dari kalangan bangsawan. Gelar yang lazim diberikan kepada laki-laki biasanya berupa kata kerja, misalnya Daeng Tjini (melihat), Daeng Ngerang (membawa), Daeng Mangemba (menghalau), Daeng Nyikko (mengikat), dan lain-lain. Ada pula yang diberikan gelar dengan kata sifat, seperti Daeng Tinggi (tinggi), Daeng Bella (jauh), Daeng Bani (dekat), Daeng Tutu (hati-hati), dan lain-lain. Sementara bagi anak perempuan, gelar biasanya mengunakan kata-kata yang bermakna agak lunak, baik kata kerja maupun kata sifat serta keadaan lainnya, misalnya Dg Mene, Dg Mainga, Dg Baji, Dg Bau’, Dg Ti’no, Dg Tajammeng, Dg Nisanga, Dg Tama’ring, dan lain-lain.

Penamaan Areng Paddaengang ini juga berfungsi sebagai tanda penghormatan kepada para leluhur agar mereka tetap dikenang dalam keluarga besarnya, meskipun sudah berlangsung beberapa lapis keturunan. Oleh karena itu, nama nenek moyang biasanya dipakai kembali lagi atau diwariskan kepada cucu-cucunya.

Areng Pakkaraengang

Nama ini juga semacam gelar yang khusus hanya diberikan kepada anak raja berdasarkan nama negeri atau kampung yang diperintahnya, misalnya Karaengta Lakiung, Karaengta Patukangang, Karaengta Garassi’, Karaengta Barombong, Karaengta Ujung Tanah, Karaengta Riburane, Karaengta Mangngeppe’, dan sebagainya.

Areng Kamateang

Nama ini juga sejenis gelar yang pada umumnya hanya diberikan kepada kalangan bangsawan tinggi, dan diberikan sesudah kematiannya berdasarkan kondisi pada saat dia meninggal, atau tempat di mana dia meninggal, misalnya Matinroe ri Siang, Matinroe Rizikkiri’na, Matinroe ri Langgara’na, dan lain sebagainya.

Sementara itu, dalam masyarakat suku Bugis, nama juga mencerminkan struktur kelas sosial, sehingga terdapat pula nama khusus bagi kelas bangsawan dan orang biasa, sebagaimana berikut:

Gelar Kebangsawanan

Masyarakat suku Bugis mengenal nama yang menjadi ciri khas gelar kebangsawanan: Andi, Baso, Besse, atau Tenri. Andi merupakan gelar bagi keturunan bangsawan asli yang menduduki tingkat paling tinggi. Jika kedua orang tua bergelar Andi, maka secara otomatis anak-anaknya juga bergelar Andi. Jika hanya salah satu orangtua yang bergelar Andi, maka anak-anaknya diberi gelar Baso (bagi anak laki-laki) atau Besse (bagi anak perempuan). Jika seseorang masih merupakan keturunan bangsawan, maka ia diberi gelar Tenri. Dalam implementasinya, ada banyak nama yang mengabungkan beberapa gelar sekaligus, misalnya Andi Baso, Andi Besse, atau Andi Tenri. Akan tetapi, saat ini, gelar Andi tidak seistimewa dulu, karena banyak orang kini banyak menggunakan nama Andi sebagai nama diri.

Nama Bugis Berdasarkan Kondisi Alam atau Kondisi Anak

Bagi orang biasa, nama Bugis biasanya digunakan sebagai penanda waktu atau keadaan alam ketika si anak lahir, misalnya Uleng Tepu (lahir pada bulan purnama), La Bosi (lahir pada musim hujan), I Lempe dan La Bussa (lahir pada saat banjir), I Tikka (lahir pada musim kemarau), dan lain-lain. Orang biasa juga menggunakan nama anak sebagai penggambaran kondisi anak ketika dilahirkan, seperti La Bolong (karena warna kulitnya hitam), La Kebok (berkulit putih), dan lain-lain.

Nama Bugis yang Mengandung Doa dan Harapan

Baik bagi kaum bangsawan maupun orang biasa, nama juga mengisyaratkan harapan dan doa orangtua bagi anak-anak mereka. Oleh karenanya, nama yang mengandung makna doa dan harapan juga digunakan oleh masyarakat suku Bugis, seperti Indo/Ambo Dalle (banyak rezeki), I Sogi (kaya), Makkawaru (Harapan), dan lain-lain.

Dengan mempertimbangkan tradisi penamaan masyarakat suku Bugis-Makassar, maka nama bukan sekedar identitas dari setiap orang, tetapi merupakan kode linguistik yang di dalamnya sarat dengan nilai dan makna yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan sebagai nama orang. Dalam kerangka teoretis, nama dapat secara bersamaan mengidentifikasi individu dan mengklasifikasikan orang ke dalam kelompok-kelompok (Mauss, 1985 [1938]). Derrida menyebutnya sebagai “the politics of onomastics” (Derrida, 1982). Dengan mengadopsi gagasan tentang relasi kuasa (Foucault, 1982), maka dalam setiap tindakan penamaan terkandung relasi kuasa, karena tidak seorang pun bayi yang lahir di dunia ini memiliki kemampuan untuk memberi nama atas dirinya sendiri. Dalam relasi kuasa itu terdapat upaya politik penamaan: di setiap masa, para orangtua sedang memainkan politik identitas tertentu yang merepresentasikan sebuah konsep tertentu yang berlaku di suatu masa tertentu. Dengan mengadopsi konsep Bourdieu tentang habitus (Bourdieu, 1980), nama merupakan produk internalisasi struktur dunia sosial. Ia mencerminkan pembagian objektif dalam struktur kelas, seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas sosial.

Akan tetapi, bagi banyak orang, nama juga tidak hanya sekedar label klasifikasi. Sampai batas yang signifikan, sebagian orang menjadi berarti karena nama-nama mereka (Lévy-Bruhl, 1926 [1912]). Sebagaimana yang berlaku pada kelompok bangsawan Bugis-Makassar, gelar-gelar kebangsawanan yang diberikan kepada mereka menjadikan nama mereka lebih bermakna. Hal ini hampir mirip dengan apa yang disebut sebagai aspek performatif dan didaktik penamaan, tindakan penamaan termasuk illocutionary act (Austin, 1962), sehingga mereka menggunakan nama gelar itu cara negosiasi hubungan sosial [ (Evans-Pritchard, 1964) (Rosaldo, 1984)], karena dengan nama gelar itu mereka memiliki kedudukan tertentu dalam masyarakat atas dasar kekerabatan kebangsawanan, dan hal ini berkhasiat untuk membangkitkan respon yang tersirat dalam hubungan sosial yang lebih luas [ (Bloch, 2006) (Evans-Pritchard, 1964, p. 221)]. Dengan demikian, nama gelar kebangsawanan mereka memiliki potensi untuk membentuk beberapa aspek kunci yang disebut sebagai “ekonomi representasional” (Battaglia, 1995, p. 2).

Salah satu cara dalam penamaan yang berlaku dalam masyarakat Bugis seringkali juga menunjukkan lapisan peradaban global yang pernah berkembang di wilayahnya. Nama Arab yang digunakan masyarakat Bugis dan Makassar menunjukkan bahwa Islam telah menjadi bagian integral dalam budaya masyarakat. Biblical Names yang digunakan masyarakat Toraja menunjukkan bahwa agama Kristen telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Sementara nama Barat yang banyak diadopsi untuk nama anak-anak saat ini menunjukkan bahwa globalisasi juga menjadi ciri budaya yang mewarnai budaya masyarakat di wilayah ini.

Nama asli dalam budaya Bugis dapat dilihat dari nama tokoh-tokoh yang tertera dalam Sure’ La Galigo. Satu tokoh dalam La Galigo, setidaknya, dapat memiliki tiga sebutan nama yang berbeda (Salim, 2011, p. 16). Nama-nama tersebut berfungsi sebagai namanya (asenna), gelarnya (pattellarenna), dan panggilannya (pappasawe’na). Salah satu tokoh dalam Sure’ La Galigo bernama panjang Lapatigana Datu Patotoe Sangkuruwira Tuppue Batu ri Wiring Langi. La Patigana (nama asli), Datu Patotoe Sangkuru Wira Tuppue Batu (nama gelar), ri Wiring Langi (nama panggilan). Permaisuri La Patigana adalah We Lette Sompa (artinya: petir yang disembah). Kedua nama tersebut merupakan nama khas Bugis (terutama bangsawan) karena bersumber dari bahasa dan kebudayaan suku Bugis.

Meskipun demikian, nama diri masyarakat Bugis tidaklah statis. Dari nama-nama mereka yang bisa dianalisis secara historis sepanjang sejarah masyarakatnya dapat menggambarkan lapisan-lapisan sejarah masyarakatnya. Dinamika penamaan diri masyarakat Bugis bisa memberi petunjuk sejarah pada beberapa peristiwa besar atau perubahan sosial yang terjadi pada masyaakatnya. Setidaknya, ada 2 peristiwa historis yang sangat berpengaruh terhadap nama diri masyarakat bugis, yaitu kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16 dan penyebaran Islam di Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-17 (Pelras, 1996, p. 124).

Kedatangan orang Portugis ke Tanah Bugis antara lain dicatat oleh pedagang Portugis, Antonio de Paiva (Pelras, 1996, pp. 124-125). Ia menuliskan bahwa pedagang muslim Melayu Patani, Pahang, dan Ujung Tanah dari Semenanjung Melayu dan Minangkabau telah menjalin perdagangan dengan Kerajaan Siang di Tanah Bugis sejak akhir tahun 1490 (Jacobs, 1966). Paiva berangkat dari Malaka tahun 1542 bersama 12 temannya (Pelras, 1996, p. 127), dan tiba di Parepare tahun 1543 (Mattulada, 1985, p. 2).

Sebagaimana semboyan para pedagang Portugis, Gold, Gospel, and Glory, Paiva turut terlibat dalam perubahan sosial di wilayah Ajattapareng (Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto, dan Alitta) melalui Kristenisasi.[3] Wilayah itu kini meliputi Kabupaten Enrenkang, Sidrap, Pinrang, Barru, dan Kota Parepare (Abidin, 2016). Paiva berhasil mengkristenkan Raja Suppa, La Makkarawie, bersama istri dan anaknya. Raja ini kemudian mengganti namanya menjadi Don Luis, sementara seorang anak gadisnya diubah namanya menjadi Dona Elena Vesiva (Abidin, 2016). Paiva juga berhasil mengkristenkan Raja Siang di Pangkajene, yang dibaptis di gereja Santo Rafael Pangkajene dengan mengganti namanya menjadi Don Juan (Mattulada, 1985, p. 3) atau Don Juan To Binanga (Poelinggoman, 2004, p. 78).

Pembaptisan para sekutu Raja Suppa’, seperti Alitta dan Bacukiki’, terus berlanjut setelah kedatangan Pendeta Vicente Viegas tahun 1545 (Pelras, 1996, p. 127). Raja Alitta berhasil dikristenkan dengan nama baptis Don Juan Manuel (Poelinggoman, 2004, p. 78). Selain itu, belum ditemukan data tentang nama baptis raja-raja lain dalam persekutuan Ajattapareng.

Akan tetapi, perubahan sosial di wilayah Ajattapareng ini tidak berlangsung lama karena sebuah tindakan orang Portugis yang melanggar aturan adat dan harga diri. Seorang perwira Portugis, Juan de Eredia, melarikan anak gadis raja Suppa’. Semenjak peristiwa ini, tak ada orang Portugis yang berani kembali ke Suppa’ hingga tahun 1549 (Pelras, 1996, p. 128). Peristiwa itu sekaligus menghentikan kemungkinan orang Bugis – termasuk masyarakat di Sulawesi Selatan lainnya — untuk menjadi penganut Kristen.

Selain memberi pengaruh bagi agama dan nama orang Bugis, orang Portugis juga disebut sebagai pemberi nama Celebes bagi Pulau Sulawesi. Kartografer Nocholas Desliens, dalam sebuah peta yang digambarnya tahun 1541, memberi nama ‘Ponta dos Celebres’ (Tanjung orang-orang termasyhur) pada bagian utara Pulau Sulawesi yang kemudian menjadi sebutan untuk seluruh Pulau Sulawesi (Franca, 2000, p. 60).

Dinamika penamaan diri masyarakat Bugis juga bisa memberikan pemahaman tentang islamisasi di wilayah Sulawesi Selatan. Meskipun orang Islam sudah ada di wilayah ini sejak abad ke-14 (dengan ditandai adanya sejumlah catatan tentang Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini, seorang ulama asal Malabar India, yang berdiam di Kerajaan Wajo sejak tahun 1320), Islam baru menemukan momentum penyebarannya pada abad ke-17 dengan kehadiran 3 ulama Minang: Abdul Makmur (Dato’ ri Bandang), Sulaiman (Dato’ ri Patimang), dan Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro). Mereka berhasil mengislamkan Raja Luwu, La Pattiware, pada awal abad ke-17. Raja ini kemudian mengubah namanya menjadi Sultan Muhammad Waliyyul Mudaruddin (Pelras, 1996, p. 135).

Tak lama setelah itu, beberapa tahun setelah pengislaman Raja Luwu, mereka kemudian berhasil mengislamkan Raja Tallo, Karaeng Matoaya. Raja ini dengan senang hati mengambil nama Sultan Abdullah Awwalul Islam. Selanjutnya, mereka juga berhasil mengislamkan sekutu Raja Tallo, yaitu Raja Gowa I Manga’rangi Daeng Manra’bia untuk masuk Islam. Raja Gowa ini kemudian mengubah namanya menjadi Sultan Ala’uddin (Pelras, 1996, p. 135).

Keislaman Raja Gowa dan Tallo merangsang semangat ekspansif kedua kerajaan dengan mengajak raja-raja di sekitarnya untuk masuk Islam. Akan tetapi, ajakan tersebut ditolak oleh raja-raja yang lain, sehingga kedua kerajaan bersekutu tersebut memerangi kerajaan-kerajaan yang menolak Islam. Orang Bugis menyebut perang ini dengan istilah Musu Selleng (Perang Islam) yang berlangsung selama empat tahun (Noorduyn, 1972). Beberapa tahun kemudian (1608), kedua kerajaan Muslim yang bersekutu tersebut berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Bacukiki’, Suppa’, Sawitto, dan Mandar, menyusul Akkontengeng dan Sakkoli. Setahun berikutnya, mereka berhasil menaklukkan Sidenreng dan Soppeng. Beberapa tahun sesudahnya (1611) mereka berhasil mengalahkan Bone (Pelras, 1996, pp. 136-137).

Penyebaran Islam di kerajaan-kerajaan Bugis membawa serta tradisi penamaan yang baru, yaitu nama Islam/Arab. Raja Bone ke-11, yang bernama Bugis La Tenrirua (Noorduyn, 1972, p. 245), atau La Tenrirawe (Mattulada, Pola Perkembangan Islam dalam Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, 1996), disebut-sebut sebagai Raja Bone pertama yang masuk Islam. Ia mulai menganut Islam ketika Perang Islam (Musu Selleng) masih berlangsung. Setelah turun tahta dan meninggal, ia diberi nama tambahan oleh Raja Gowa menjadi La Tenrirua Arung Pattiro Adamulmarhum Kalinul Awalul Islam.

Sementara itu, Raja Bone ke-12, La Tenripala, menerima Islam pada tahun 1610. Ia lalu mengambil nama gelar Sultan Abdullah. Pada masa kekuasaan Raja Bone ke-13, La Maddaremmeng, kebudayaan Islam menjadi lebih berkembang di wilayahnya. La Maddaremmeng memajukan agama Islam dengan membuat banyak lembaga-lembaga Islam. Nama-nama lembaga tersebut diambilnya dari bahasa Arab, seperti Dewan Syara’. Adapun orang-orang Bugis yang menjadi Pejabat Syara’ (Parewa Syara’) juga dipanggil dengan sebutan bahasa Bugis bercampur bahasa Arab seperti Petta Kali-e (Qadi), Petta Imang (Imam), Khatib, Bilal, Mukim, dan Amil (Abidin, 2016).

Penyebaran Islam di tanah Bugis juga mengakibatkan perubahan terhadap ritual Bugis. Ritual Bugis sebelumnya, yakni Attoriolong (dengan pemuka agamanya yang disebut Bissu), berganti dengan ritual-ritual Islam. Nama ritual itu juga berbahasa Arab seperti Maulid, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, dan Ied (Mattulada, Pola Perkembangan Islam dalam Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, 1996, p. 247). Nama ritual-ritual tersebut lalu menjadi latar — terutama sebagai motif penanda waktu kelahiran — bagi penamaan orang Bugis. Misalnya, orang Bugis yang lahir di hari Idul Fitri diberi nama Fitri atau lahir bertepatan dengan hari Isra’ Mi’raj sehingga diberi nama Isra’ (Abidin, 2016). Bagi masyarakat biasa di Bugis, nama-nama Arab juga mengalami adaptasi ke dalam dialek Bugis, misalnya nama Muhammad menjadi Muhammadong (dipanggl Madong), Abdullah menjadi Beddu, dan Fatimah menjadi Fatimang (dipangil Timang).

Ketika kolonialisme Belanda berkuasa di tanah Bugis, pemerintah kolonial Belanda mengintervensi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Birokrasi kolonial membutuhkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kemampuan baca tulis – singkatnya, mereka membutuhkan kaum terpelajar. Oleh karena itu, mereka mendirikan sekolah-sekolah Belanda. Di Makassar, sebagai tempat kedudukan pemerintahan kolonial, dibangun sekolah-sekolah lanjutan, seperti OSVIA, MULO (Meerder Uitbreiding Lager Onderwijs), AMS (Algemene Middelbare School), Normaal School, dan HK (Holland Indlands Kwekschool). Sementara di wilayah distrik, dibangun sekolah Gubernemen atau Sekolah Desa dan Volks-School untuk sekolah lanjutan tiga tahun. Dan untuk pendidikan di tingkat Afdeling didirikan sekolah seperti HIS dan Schakel School (Mattalatta, 2003)

Mereka yang bisa mengakses sekolah-sekolah kolonial itu hanyalah anak-anak kaum bangsawan. Jika ingin mengikuti sekolah dari tingkat HIS atau sekolah pamongpraja, yang lazim disebut Sekolah Raja, seperti Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), maka setiap siswa harus menyertakan stamboom (daftar silsilah keturunan) dan lembar pernyataan kesetiaan pada pemerintah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah ini mencetak pegawai untuk pejabat-pejabat pemerintahan dan pegawai administrasi untuk perusahaan-perusahaan Kolonial (Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan , 1998).

Anak-anak bangsawan yang telah menamatkan sekolah memperoleh gelar “Andi” di depan nama mereka. Penggunaan gelar “Andi” ini dimulai sekitar tahun 1930-an oleh para kepala swapraja dan keluarga bangsawan untuk memudahkan identifikasi keluarga raja. Sebelumnya, seorang bangsawan atau anak-anak raja tak pernah menyematkan kata “Andi” di depan nama, melainkan La ataupun I untuk laki-laki dan We untuk perempuan. Sementara untuk gelar kebangsawanan digunakan Opu, Daeng, Karaeng, Arung, Bau’, atau Puang, sesuai daerah dan wilayahnya. Dan tak pernah ada panggilan Andi (Mattulada, Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan , 1998).

Awal muasal kata Andi dikenalkan oleh B.F. Matthes, seorang misionaris Belanda, pendiri sekolah OSVIA dan di kemudian hari dikenal sebagai pelopor penulisan epik I La Galigo bersama Colliq Pujie pada 1918. Matthes hendak menulis Standen Stelsel (asal-usul; dalam bahasa Bugis disebut assaleng, dan kabattuang dalam istilah Makassar) di Zuid Celebes, seperti yang sudah ada di Jawa. Sebagai awal usahanya itu, dia memberikan titel Andi kepada semua golongan bangsawan yang sudah lulus dari sekolah-sekolah yang berada dalam jangkauan Departement Onderwijs en Eeredients (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) (Mattalatta, 2003).

Setelah Indonesia merdeka, dimana wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian integral di dalamnya, sempat terjadi pergolakan DI/TII di wilayah ini yang dipelopori oleh Kahar Muzakkar. Pergolakan ini berlangsung selama 15 tahun dan berakhir dengan tertembaknya pemimpin gerakan ini. Upaya penumpasan gerakan ini memerlukan waktu yang lama, sehingga banyak tentara yang dikirim dari Jawa berinteraksi secara intensif dengan penduduk. Sebagian besar tentara itu merupakan orang Jawa dan berinteraksi secara intensif dengan penduduk lokal untuk memisahkan warga sipil dengan kombatan DI/TII. Dari interaksi itulah, banyak warga asli Bugis mengadopsi nama Jawa yang berasal dari simpati dan interaksi dengan tentara dari Jawa selama mereka bertugas menumpas pergolakan Kahar Muzakkar (Abidin, 2016).

Ketika orang Bugis dan Makassar dan suku-suku yang lain semakin berpendidikan tinggi secara merata, dan juga semakin makmur secara merata pula, literasi pengetahuan dan pergaulan mereka semakin luas melalui akses media informasi yang hampir tak terbatas. Hal ini membuka berbagai kosakata baru yang belum pernah ada dalam bahasa lokal, dan pada gilirannya juga memperkaya perbendaharaan nama untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. Kosakata baru ini justru menjadi kendaraan bagi narsisme orangtua dalam mengekspresikan pencapaian mereka melalui nama anak-anak mereka yang kemudian menggeser khazanah penamaan diri yang khas bagi masyarakat lokal di Sulawesi Selatan.

[1] Dalam usaha mencari latar belakang pelapisan masyarakat, Fredericy (1930) berpedoman pada peranan tokoh-tokoh mitologis dalam epos La Galigo. Ia mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Bugis-Makassar pada mulanya hanya terdiri atas 2 lapisan saja, sementara lapisan Ata merupakan suatu perkembangan kemudian ketika masyarakat Bugis-Makassar mengalami pertumbuhan pranata-pranata sosial yang bercorak feodal.

[2] Mattulada (1991) menilai bahwa golongan Ata bagi masyarakat Bugis-Makassar tidak dapat disebut sebagai suatu lapisan kelas sosial karena jumlahnya sangat kecil. Ata lebih banyak berarti suatu atribut status elit bagi pemiliknya.

[3] Ajattapareng merupakan sebuah kawasan di bagian barat Sulawesi Selatan yang meliputi wilayah historis dari persekutuan lima kerajaan kecil: Sidenreng, Suppa, Rappang, Sawitto, dan Alitta. Persekutuan lima kerajaan ini dibentuk pada abad ke-16 sebagai respons terhadap meningkatnya pengaruh Gowa-Tallo di selatan dan Tellumpoccoe—yang melibatkan tiga kerajaan Bugis (Bone, Wajo, dan Soppeng)—di timur. Ajatappareng menjadi kekuatan yang berpengaruh di Sulawesi Selatan hingga kemundurannya pada abad ke-17. Bekas konfederasi ini kini menjadi bagian dari beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *