Nama adalah kata panggilan seseorang, yang lazim disebut nama kecil atau nama babtis oleh pemeluk agama Kristen. Orangtua memilih nama anaknya yang akan disandang seumur hidup. Pergantian dapat terjadi oleh karena penyakit atau sebab lain. Kebiasaan ganti nama sudah lumrah dan mode di kalangan pemuda terlebih para artis dan selebritis. Kemungkinan nama baru dirasa lebih trendy sehingga pilihan dan pemberian orang tua dibenamkan. Ada seorang teman bernama Ojak yang berasal dari kata Marojahan, bermakna dasar atau pijakan, kemudian Ojak kini lebih sering dipanggil dengan Jack. (Tobing, 2012)
Selain nama marga, ada ciri khas lain dari nama orang Medan. Nama itu biasanya diambil dari bahasa suku Batak. Sama seperti di Jawa, nama dari bahasa Batak itu memiliki arti yang biasanya menjadi sebuah doa untuk sang anak. Beberapa nama orang Medan ini banyak dijumpai dan kadang tidak sadar bahwa itu nama dari orang Medan jika tidak menyebutkan namanya yang lengkap. Misalnya Tigor, Togar, Tupa, Ruhut, Poltak, Patudu, Prulian, Paima, Maruli, Haposan, Uli, Gomgom, Tiur, Domu, Sondang, Bonar, Hotma, Hasiholan, Binsar, Duma, Batara, Dosma, Agam, Anju dan beberapa nama lainnya yang diambil dari bahasa Medan (ceritamedan.com, 2013). Nama orang Medan di atas merupakan nama yang sudah menjadi ciri khas orang Medan. Namun perlu diingat bahwa Medan sekarang sudah menjadi kota metropolitan dan sudah dihuni oleh berbagai macam suku yang ada di Indonesia, yang memperoleh pengaruh budaya dan agama yang beragam dari luar daerah hingga luar negeri.
1. Nama Anak-Anak Semakin Hybrid
Berdasarkan riset lapangan yang meneliti pertumbuhan nama-nama orang Suku Batak di wilayah Medan dan Karo sebagai sampel yang mewakili nama orang bersuku Batak. Data nama dikoleksi dari data pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang di-download dari website Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (www.kpu.go.id). Data tentang nama ini direntang secara diakronis berdasarkan dekade sejak tahun 1941 (dekade 1940-an) sampai tahun 2000, sebagaimana data yang ada dalam data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data ini kemudian diolah berdasarkan register kebahasaan ke dalam 6 kategori: (1) nama berbasis tradisi, yaitu nama khas Batak atau Sansekerta; (2) nama berbasis agama, yaitu nama Arab atau nama baptis; (3) nama dari suku lain, yaitu nama pendatang atau nama yang diadopsi dari suku lain di Indonesia; (4) nama global, yaitu nama Eropa, atau nama Barat, atau nama asing lainnya; (5) nama campuran, yaitu nama kombinasi antara nama yang berbasis tradisi dan agama (nama Arab/Baptis); dan (6) nama superhybrid, yaitu nama kombinasi dari nama yang berbasis tradisi, agama, dan global. Selanjutnya, hasil pengolahan data tersebut disuguhkan dalam bentuk statistik.
Meskipun orang Sumatera Utara semakin terdidik dan makmur, mereka tidak serta-merta menjadi kebarat-baratan. Hampir mirip dengan mystic synthesis (Ricklefs, 2006), mereka tetap memelihara register tradisi dan agama dalam nama anak-anak mereka. Dengan demikian, nama anak-anak orang bersuku Batak di akhir abad ke-20 menjadi semakin hybrid: menyerap semua register tradisi, keagamaan (terutama Islam melalui nama Arab), dan globalisasi (melalui nama Barat atau Eropa). Dengan demikian, konteks yang berubah dalam penamaan bagi orang Sumatera Utara semenjak akhir abad ke-20 ialah hibridisasi nama dengan sumber-sumber linguistik yang semakin luas. Berdasarkan data yang ada, perkembangan nama orang yang bersuku Batak berlangsung secara dinamis, sebagaimana berikut:
Berdasarkan data statistik di atas, nama berbasis tradisi semakin menurun secara terus-menerus. Diindikasikan, nama-nama tradisi seperti Tigor, Togar, Tupa, Ruhut, Poltak, Patudu, Prulian, Paima, Maruli, Haposan, Uli, Gomgom, Tiur, Domu, Sondang, Bonar, Hotma, Hasiholan, Binsar, dan lain-lain tersebut semakin menurun dan mengikuti trend. Sementara itu, nama berbasis agama semakin meningkat dari dekade ke dekade. Nama-nama yang semakin meningkat ini adalah nama berbasis agama Kristen dan Islam, seperti nama Muhammad, Hidayah, Nur, Wahyu, Kristin, Natali, Josep, Maria, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya, Batak juga memiliki sedikit hubungan dengan para mualaf Muslim sejak awal 1880-an hingga saat ini, jika ada, itu adalah efek pada budaya Batak Toba, karena hal tersebut hanya berpengaruh di antara orang Batak Mandailing di Tapanuli Selatan. Terlepas dari kenyataan tersebut, sebelum kedatangan agama Kristen ke Sumatera Utara pada pertengahan abad ke-19, tanah Batak Toba dikelilingi oleh negara-negara Islam. Antagonisme rakyat terhadap Islam diperkuat oleh konversi mereka ke agama Kristen, meskipun kontak dengan Islam melalui perang Padri pada awal abad ke-19 memfasilitasi transformasi sosial masyarakat Batak Toba dengan mengakhiri isolasi selama berabad-abad (Mauly, 2002). Kedatangan paham Agama Islam maupun Kristen di atas telah memberikan dampak kehidupan yang signifikan pada masyarakat Batak. Selain semakin terpinggirkannya agama-agama lokal setempat, pemberian nama pada seseorang juga semakin mengikuti nilai-nilai yang terkandung pada keyakinan dari Agama Islam dan Kristen, seperti nama Muhammad dan Paulus.
Daerah tempat tinggal suku Batak banyak terdapat di daerah pegunungan yang alami dan sangat menarik bagi para pendatang. Batak menjadi tempat yang menarik bagi para pengunjung untuk datang berkunjung sebagai objek wisata, namun interaksi antara wisatawan dan penduduk setempat biasanya bersifat sementara. Mereka merasa seperti terseret ke dalam aliran transnasional besar yang dengan mudah membawa dalam arus berbagai macam bahasa dan identitas nasional, perilaku gender, barang konsumsi, opini politik, dan kemungkinan ekonomi (Causey, 2007). Dalam arus global tersebut telah terjadi proses transformasi yang bersifat transnasional dari para pendatang yang berpengaruh terhadap originalitas identitas suku Batak. Tidak hanya kebudayaan yang bersifat modernis dengan perbauran masyarakat global, namun kepribadian masyarakat Batak juga terpengaruh secara personal, yaitu ketika perlahan nama-nama orang masyarakat Batak terpengaruh oleh trend yang di bawa oleh para pendatang yang dianggap lebih populer dan kekinian.
Sementara itu, koalisi Protestanisme dan kapitalisme yang digarap secara politis di suku Batak Karo berkontribusi pada pembentukan subyek-subyek politik kolektif dan individu yang terikat pada tingkat kedua kebangsaan lokal dan komunitas nasional Indonesia yang lebih besar. Meskipun misionaris tidak dapat dikreditkan dengan penemuan identitas Karo, program-program standardisasi linguistik, pendidikan bahasa setempat, dan terjemahan Alkitabnya, bagaimanapun, menghasilkan sekitar seperangkat sumber daya linguistik untuk pemerintahan dan perlawanan (Steedly, 1996). Hal ini menunjukkan pendidikan bahasa setempat telah mendapatkan pengaruh politik yang juga bersumber dari Barat, sebagai bentuk upaya menanamkan nilai Protestanisme dan kapitalisme secara politik dalam kebijakan pemerintahannya.
2. Nama Anak-Anak Semakin Panjang
Dalam perkembangannya, nama-nama orang Suku Batak mengalami peningkatan jumlah kata dalam penamaan orang Sumatera Utara ini. Faktor semakin berkurangnya jumlah anak karena program Keluarga Berencana juga diduga menjadi faktor bagi orang tua yang memiliki sedikit anak, akan tetapi ingin memberikan banyak nama, karena dalam tradisi keluarga juga masih banyak yang berperan dalam pemberian nama. Nama anak-anak orang Sumatera Utara tentu sudah tidak lagi mencitrakan kelas sosial rendah. Nama mereka lebih panjang dari generasi sebelumnya, terdiri atas 2 sampai 4 kata, mencitrakan makna yang lebih berwarna. Dinamika tentang jumlah kata nama orang Sumatera Utara tersebut juga ditemukan di Medan dan Karo yang menjadi sampel dalam riset ini:
Data statistik di atas menunjukkan bahwa setiap dekade ada penurunan jumlah nama yang berjumlah tunggal, namun semakin banyak jumlah nama yang lebih dari satu kata. Seiring dengan meningkatnya literasi dan kemakmuran, sebagaimana masyarakat yang semakin maju memberikan nama yang terdiri atas 2 kata atau lebih kepada anak-anak mereka, maka orang Sumatera Utara pun ingin menunjukkan mobilitas vertikal mereka melalui pemberian nama pada anak-anak yang semakin panjang. Dengan demikian, konteks lain yang berubah dari nama orang yang bersuku Batak ialah nama yang semakin panjang, terdiri atas beberapa kata, bahkan semenjak akhir abad ke-20semakin banyak dijumpai nama atas 4 kata.
Pada sisi lain, nama-nama yang tadinya hanya sebatas akar kata mulai berimprovisasi dengan memanfatkan daya kreatifitas yang dimiliki masyarakat suku Batak, mereka membentuk nama baru dengan menambah imbuhan tertentu pada akar kata tersebut, baik di muka, di tengah atau di belakang. Misalnya, dengan akar kata Hirim (harap) dibentuk nama Hirimon (diharap) dan Panghirimon (pengharapan); akar kata Togi (ajak) dibentuk nama Martogi (mengajak, berteman) atau Partogi (pimpinan). Demikian juga dari Tiar (teratur) dibentuk nama Tiarma (semoga teratur); dari kata Uli (cantik, indah, baik) dibentuk menjadi nama Taruli (mendapat kebaikan), Maruli (memiliki kebaikan), Saulina (yang tercantik), Mauli (sudah baik, cantik). Dengan memanfaatkan imbuhan, nama-nama orang Batak itu semakin bersemarak (Tobing, 2012). Perubahan nama-nama di atas menunjukkan bahwa selain pengaruh eksternal dengan berbagai macam budaya dan agama, masyarakat suku Batak juga melakukan improvisasi sendiri dengan merubah akar namanya sendiri. Nama-nama ini juga menjadi menarik karena merupakan modifikasi lokal yang dianggap kekinian, sehingga lebih enak dan menarik untuk dipanggil, walaupun di sisi lain nama-nama pengaruh dari asing juga banyak berpengaruh dan merubah nama-nama orang Batak asli.