Loading...
Analisis

Antropologi Penamaan Masyarakat Batak

Pola penamaan dalam masyarakat Sumatera Utara tergolong khas dan menarik dibandingkan daerah lainnya, karena memiliki nama marga dengan silsilahnya sebagai identitas dan karakter seseorang. Namun sebelum membahas terkait antropologi penamaan, terlebih dahulu dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu tentang etnis yang menempati wilayah ini, sehingga akan lebih mudah dalam membedakan karakter nama etnis Batak dengan yang lainnya.

Penduduk Sumatera Utara menurut golongan etnis terdiri dari penduduk asli Sumatera Utara, penduduk asli pendatang dan penduduk asing. Yang termasuk penduduk asli ialah suku Melayu, Batak Karo, Simalungun, Fak-fak/Dairi, Batak Toba, Mandailing, Pesisir dan Nias. Golongan pribumi pendatang adalah suku Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Minahasa, Banjar, Palembang, Riau, Minangkabau dan lain-lain, sedangkan penduduk asing adalah orang-orang Arab, India, Cina dan bangsa-bangsa lain.

Susunan masyarakat Sumatera Utara adalah berdasarkan genealogis-teritorial atau suatu keturunan daerah dan wilayah, misalnya suku Batak Toba, Mandailing dan Nias. Sedangkan di wilayah Sumatera Timur atau Melayu adalah berdasarkan teritorial. Bila ditinjau dari kekerabatan dari segi garis keturunannya, maka suku Batak dan Nias adalah patrinileal yaitu garis keturunan yang dipandang dari garis keturunan Batak, dan suku Melayu adalah parental, yaitu garis keturunan yang dipandang dari kedua belah pihak, bapak dan ibu. Kelompok kekerabatan Nias disebut Sangabato yakni keluarga Batih dan keluarga luas yang disebut Sangabato Sehua. Gabungan dari Sangabato Sehua dari satu leluhur disebut Mado yang dapat disamakan dengan marga pada suku Batak, yakni klen besar patrilokal.

Bagi orang Batak, silsilah nama marga sebagai identitas pribadi harus tetap dijunjung tinggi. Tanpa identitas ini, hidup mereka akan sia-sia.  Itulah alasannya kenapa marga dalam adat Batak amat penting. Bagi orang Batak, marga menunjukkan ia berasal dari silsilah keturunan yang mana. Bagi orang Batak, ini penting karena silsilah adalah identitas orang Batak dalam pergaulan. Hampir sama dengan adat berbagai daerah, anak lelaki Batak diutamakan karena dia akan meneruskan marga keluarganya. Melalui marga, orang Batak dapat menemukan saudara seketurunannya. Dalam hal ini biasanya disebut ito, dan mereka langsung akrab sekali bertemu (Simanjuntak, 2018). Hal ini menunjukkan sikap loyalitas masyarakat suku Batak dijunjung tinggi dengan semangat solidaritas persamaan kekerabatan yang dapat dilihat dari nama-nama orangnya.

Guru Tatebulan
Raja Isumbaon
1. Tuan Sorimangaraja

2. Raja Asi-asi

3. Sangkar Somalidang

1. Raja Biak-biak

2. Tuan Sariburajas

3. Limbong Mulana

4. Sagala Raja

5. Silau Raja

1. Raja Lotung

2. Raja Borbor

3. Raja Galeman

Berikut silsilah masyarakat suku Batak dengan beberapa marga yang menjadi bagian dari pola penamaan hingga saat ini dalam suku Batak Karo:

Sumber: Sinaga, 2015
1. Tuan Sorbadijulu

2. Tuan Sorbadijae

3. Tuan Sorbadibanua

Nini Karo
1.Karo-karo

2.Ginting

3.Tarigan

4.Sembiring

5.Parangin-angin

Si Raja Batak
Toga Laut

Lima anak Nini karo di atas menjadi marga induk di Tanah Karo. Tetapi pengertian marga induk di Tanah Karo tidaklah sama dengan pengertian marga induk di Toba. Di Toba, marga-marga di bawah marga induk itu berdasarkan garis keturunan bapak (secara genealogis patrilineal). Di Tanah Karo, marga-marga itu tidak lebih merupakan persekutuan atau perikatan yang tidak mementingkan silsilah. Karena itu, orang-orang Batak Toba, Batak Pakpak atau Batak Simalungun yang datang ke sana  dapat menggabungkan diri ke salah satu marga induk marga dan membentuk marga baru di bawah marga induk tersebut. Misalnya marga Lingga di Pakpak adalah keturunan Sihontang dari Toba, kemudian pergi ke Tanah Karo dan menggabungkan diri dengan marga induk Karo-karo dengan menghasilkan marga Karo-karo Sinulingga. (Sinaga, 2015)

Berdasarkan pada nama-nama marga yang melekat pada diri masyarakat orang suku Batak tersebut, maka seseorang dapat diidentifikasi berasal dari daerah/desa mana dia tinggal. Hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat adat Batak memiliki semacam hak ulayat yang memang memiliki kewenangan dalam pengelolaan suatu wilayah tanah. Berikut contoh tempat tinggal dengan berdasarkan nama marga tersebut:

Marga Induk Anak Marga Desa
1.   Karo-karo –          Sinulingga

–          Surbakti

–          Sinukaban

–          Lingga

–          Surbakti

–          Pernantin

2.   Tarigan –          Silangit

–          Tegur

–          Girsang

–          Gunung Meriah

–          Suka

–          Berastepu

3.   Ginting –          Garamata

–          Djawak

–          Seragih

–          Radja Tengah

–          Tjingkes

–          Linggadjulu

4.   Parangin-angin –          Sebajang

–          Sinurat

–          Uludjandi

–          Perbesi

–          Kerenda

–          Djuhar

5.   Sembiring –          Sinulaki

–          Keloko

–          Sinupajung

–          Silalahi

–          Pergendangen

–          Djumaraja

 

Nenek moyang orang Batak mengatakan bahwa keturunan yang sama, sekalipun tidak satu rahim, akan mengakibatkan suatu hal yang buruk jika berpasangan. Dalam hal biologis, berarti bisa menimbulkan kecacatan pada keturunan selanjutnya. Orang Batak juga menentukan jodoh berdasarkan marga. Jika ia satu marga dengan seseorang yang dicintainya, maka ia tidak boleh menjalin hubungan dengan orang tersebut (Simanjuntak, 2018). Dalam hal ini pula nama marga menjadi perhatian penting bagi masyarakat suku Batak, karena harus mampu memilih keturunan yang tidak boleh berasal dari marganya sendiri dengan melihat nama seseorang tersebut.

Terdapat lima macam suku Batak, yaitu Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Toba dan Batak Mandailing. Kosakata dan pelafalannya pun sangat berbeda. Keunikan nama orang suku Batak misalnya adalah nama Lindung, bagi suku lain yang mengetahui bahwa Lindung adalah persamaan dari kata belut. Ada juga seseorang bernama Tahi. Orang yang tak paham, perkataan tahi adalah agar jorok Padahal bagi suku Batak Toba sendiri tahi itu bermakna rencana. Acap juga ditemukan nama mereka, memakai nama kota besar di Negara tertentu atau nama asing. Ada yang bernama Wahington, Wellington, English, Scott dan lain-lain. Mungkin ketika lahir, orang tuanya teringat dengan nama kota itu dan diabadikan di nama anaknya. “Nama anak saya sendiri bernama Scott. Mengapa saya pakai nama itu. Ya, karena saya punya sahabat akrab di benua Australia yang bernama Scott. Nama itu saya abadikan di nama anak saya.” (Tobing, 2012)

Nama Marga Silima yang ditentang oleh Jong Karo adalah rujukan formula untuk lima kelompok keturunan utama yang menjadi tempat persaudaraan Karo secara keseluruhan diperintahkan. Marga-marga ini, sebagaimana dicatat Singarimbun (Steedly, 1996), sebenarnya sedikit lebih banyak dari patril yang mentransmisikan nama-nama yang tepat. Perkawinan menciptakan hubungan asimetris antara individu, keluarga besar, garis keturunan lokal, dan jaringan agitasi dan afiliasi yang luas; melalui ini, lima marga ditarik ke dalam bidang relasional yang padat dan multivalen status asimetri yang dikodekan dalam jaringan rumit identitas kerabat tertentu, dihitung dalam kalkulus rumit tentang hak dan kewajiban sosial, dan secara ritual diberlakukan dalam tampilan publik peran sosial dan tugas. (Steedly, 1996)

Masyarakat suku Batak yang dalam hal ini identik dengan wilayah Sumatera Utara dapat dilihat dari nama-nama orang yang terlihat dari marganya. Nama marga suku Batak cukup melekat di daerah tersebut, namun seseorang harus memiliki ketentuan tertentu agar bisa memiliki nama marga suku Batak tersebut. Secara prinsip dan dalam praktik, setidaknya ada tiga cara menyematkan marga ke nama seseorang (Salmande, 2012).

Pertama, berdasarkan keturunan yang berasal dari marga Ayah. Karena Adat Istiadat Batak/Mandailing menggunakan sistem patrilineal, maka seorang anak mewarisi marga dari ayahnya. Misalnya, seorang anak otomatis bermarga Nasution bila ayahnya juga bermarga Nasution. Kedua, pemberian marga karena perkawinan. Misalnya, seorang laki-laki Batak/Mandailing menikah dengan perempuan dari suku atau bangsa lain, begitu juga sebaliknya, maka pasangannya bisa juga diberikan marga. Biasanya, apabila si perempuan berasal dari suku non-Batak/Mandailing, maka marga yang diberikan kepada si perempuan itu adalah marga ibunda (calon) suaminya. Sedangkan, apabila laki-laki yang berasal dari suku  non-Batak maka diberikan marga anak boru dari pasangan wanita Batak itu.

Ketiga, penabalan marga kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi masyarakat Batak/Mandailing. Beberapa tokoh yang diberikan marga tercatat dalam Buku Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu, di antaranya, Prof. Hazairin, dan Siti Hardiyanti Rukmana yang diberikan marga Harahap, serta (mantan) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang diberikan marga Nasution.   Penabalan marga bukan hanya diberikan kepada tokoh yang berasal dari Indonesia. Seorang Sosiolog dan Antropolog dari Amerika Serikat, Prof. Susan Rodgers juga tercatat pernah diberikan marga Siregar di daerah Sipirok, Tapanuli Bagian Selatan.   Namun, perlu diketahui bahwa, pencantuman atau penabalan marga dalam perkawinan dan penabalan kepada tokoh-tokoh itu tak bisa dilakukan sembarangan. Proses pemberian dan penabalan marga kepada orang-orang non-Batak/Mandailing itu harus dilakukan pada suatu sidang adat dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan dan syarat dalam adat istiadat Dalihan Na Tolu.

Masyarakat batak memiliki sistem nilai wawasan, mentalitas dan sikap sebagai kepribadian budaya etnis Batak, yaitu Dalihan Na Tolu. Sistem nilai ini membantu agar setiap Marga mudah menempatkan dirinya dengan segala hak dan kewajibannya dalam komunikasi intern dan ekstern di lingkungan keluarga-keluarga kecil (sub etnis) maupun di keluarga lebih besar, ataupun secara nasional harus mengakar dalam diri orang yang mengenal sistem kekeluargaan (Damanik J. R., 2005). Ini adalah prinsip yang terbilang sakral bagi suku Batak karena disetiap adat dan acara Batak pasti kata-kata ini selalu diucapkan. Dalihan Na Tolu artinya tiga aturan utama yang harus dipatuhi sebagai orang Batak, yaitu Somba Marhulahula (Hormat kepada keluarga pihak istri), Elek Marboru (harus bisa mengayomi wanita), Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga). Tanpa Dalihan Na Tolu, hidup orang Batak tidak akan memiliki kekerabatan yang erat seperti sekarang ini. Dalihan Na Tolu juga sebagai fundamentalisme kehidupan yang sebenarnya selaras dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diatur oleh Pancasila sebagai dasar Negara kita (Sitorus, 2016).

Hal di atas menunjukkan bahwa kepribadian budaya etnis Batak dapat beradaptasi dengan menempatkan posisi dirinya yang berada di dalam maupun luar komunitas mereka. Sistem kekeluargaan masyarakat Batak juga dapat dilihat dari Marganya, yang dalam hal ini diindikasikan dengan jenis nama-nama yang melekat pada nama orang yang bersangkutan. Nama Marga Sembiring, Ginting, Sitompul, Harahap, Siregar, dan jenis-jenis Marga lainnya melekat pada nama lengkap seseorang yang beretnis Batak.

Orang Batak maupun orang luar Batak menurut Tokoh adat Lingga, Saranan Sinulingga, dalam beberapa kasus kasus dapat berpindah nama marga Batak. Misalnya seorang anak memiliki nama marga Sinulingga sebagai turunan silsilah dari ayahnya, namun ketika ibunya menikah lagi dengan lelaki lain dengan marga berbeda, maka nama anak tersebut dapat berganti marga walaupun tidak ada hubungan darah. Pergantian nama tersebut juga tetap dilakukan melalui proses hukum negara, yaitu melalui pengadilan.

Kasus Kedua, yaitu seseorang di antaranya adalah ketika ada seorang yang bersuku Jawa pindah dan menetap di Desa Lingga, kemudian dirinya memiliki nama marga Sinulingga. Hal ini diperbolehkan dalam hukum adat di Batak Karo ini, dengan syarat harus memiliki ayah angkat terlebih dahulu yang sesuai dengan marga yang diinginkan. Kemudian dapat dilakukan dengan upacara kecil seperti memotong ayam dan mengundang keluarga dekat sebagai bentuk pengukuhan dan memperkenalkan anak angkatnya yang baru dengan nama marganya. Dengan kata lain, orang Jawa tersebut sah dan menjadi bagian dari keluarga dari silsilah marga tersebut.

Kasus ketiga, yaitu ada orang yang bersuku Batak berpindah marga seperti yang terjadi di Desa Sinulingga. Ada seorang yang bernama Batu Nainggolan berasal dari daerah Toba, berpindah dan menetap di Desa Lingga di daerah Karo, kemudian dirinya mencari ayah angkat di desa ini dan mengganti namanya menjadi Batu Nainggolan Sinulingga. Orang tersebut pun telah sah menjadi marga atau keluarga di desa tersebut, baik secara hukum adat maupun hukum negara melalui pengadilan.

Kasus keempat, yaitu ada orang yang bersuku Minang berpindah menjadi marga Batak seperti yang terjadi daerah Kabanjahe. Orang tersebut bernama Adek Sikumbang. Tidak hanya karena alasan sudah menetap dan tinggal di Kabanjahe, tetapi juga karena alasan orang tersebut mau ikut pemilihan calon anggota legislatif pada 2019. Orang tersebut kemudian mencari ayah angkat dari marga Tarigan, kemudian berubah Namanya menjadi Adek Sikumbang Tarigan. Nama marga ini menjadi penting karena dapat mencari simpatisan untuk menarik suara pada saat pemilihan legislatif, walaupun pada akhirnya orang tersebut tidak lolos menjadi anggota dewan.

Istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut identitas Karo sebagai fakta sosial (agama, ritual, bahasa, kekerabatan, ekonomi politik, wilayah, tubuh sosial, tradisi itu sendiri) menunjukkan kontingensi radikal bahkan dalam fakta-fakta nyata dari pengabadan sejarah mereka. Ketidakstabilan nama dan properti ini rumit, tetapi tidak semata-mata akibat dari hilangnya historis bentuk murni asli identitas Karo melalui penemuan kembali ideologis misi, atau tangan pasar kapitalis yang tidak terlihat, atau bahkan proyek kolonial dan postkolonial. (Steedly, 1996) Nama yang tepat Karo saat ini menunjukkan situs budaya lokal yang relatif homogen, terpisah secara sosial, kontinu, dan sangat sadar diri dalam komunitas bersama yang lebih besar dari bangsa Indonesia, tetapi untuk berbicara secara historis tentang identitas Karo tentu harus dilakukan anakronisme. Jika tidak jelas bahwa objek etnografi yang ditunjuk mungkin dalam telah mendahului penamaannya, jelas bahwa tindakan penamaan itu sendiri mengamanatkan pengakuan sebelum fakta. Nama yang tepat, dengan kata lain selalu berlaku surut. (Steedly, 1996)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa idealisme dalam penamaan seseorang bersumber pada pola sejarah yang berubah, termasuk karena pengaruh proyek kolonial dan postkolonial, sehingga pengakuan terhadap nama itu sendiri juga berlaku sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat relatif. Pemberian nama marga pun dalam hal ini menjadi suatu akumulasi fakta yang sudah terdistribusikan dalam penamaan masyarakat batak, sehingga menjadi sesuatu yang diakui sebagai identitas lokal.

Aspek budaya memainkan peran penting dalam ekspresi dan transmisi identitas agama dan budaya. Upacara yang mereka lakukan untuk menghormati kode sosial dan agama mereka, yang dikenal dalam bahasa Batak sebagai adat. Pada prinsipnya, adat istiadat tradisional merangkul seluruh budaya Batak Toba, menyatukan semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk dimensi sosial dan keagamaan (Mauly, 2002). Antropologi pada masyarakat Batak ini menjelaskan bahwa budaya dan agama merupakan hal yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, bahkan telah berbaur dengan adat dan tradisi masyarakat Batak. Pemberian nama-nama orang dalam masyarakat Batak dalam hal ini tentunya tidak lepas dari pengaruh adat istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat Batak itu sendiri. Identitas budaya batak telah menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat, sehingga tidak jarang ditemukan nama-nama khas Batak bagi masyarakat yang lahir atau berasal dari suku Batak tersebut.

Berkaitan dengan pengaruh agama dalam pola penamaan, Islam dan Kristen memiliki peran besar dalam pemberian nama dalam masyarakat suku Batak ini. Dalam perkembangannya, banyak pula para peneliti yang mengambil andil dalam proses pengaruh agama yang terjadi di Batak ini.Beberapa ahli memang menunjukkan pendapat berbeda dalam penyebutan masyarakat Batak ini, namun dalam agama terdapat keindetikan, yaitu bahwa marga juga memiliki latar belakang sejarah agama tertentu yang tergantung dari paham ideologisnya.

Pada 1783, dalam bukunya yang berjudul History of Sumatra, William Marsden memberikan deskripsi tentang geografi politik “Kerajaan Orang Battas”. Ia membuat perbedaan antara penduduk “Carrow” (Karo) dan “Batta” (Batak). Kemudian pada 1823, John Anderson menjelajahi pedalaman pesisir timur laut Sumatera. Ia menyebut nama-nama suku seperti Mandailing, Kataran, Pappak, Tubba, Karau-karau, Kappak, dan Alas. Pada 1874, dalam Die Battalander auf Sumatra, Junghuhn membuat peta batas-batas Tanah Batak. Dia menjelaskan bahwa di Tanah Batak terdapat ratusan negeri. Betapapun banyak perbedaan di antara sub-etnis ataupun luasnya wilayah Tanah Batak, kanibalisme menjadi faktor yang digunakan para pembuat peta etnis tersebut untuk membedakan Batak dan Melayu. Jadi, menurut Petter beranggapan bahwa sebutan Batak tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori Batak yang merujuk pada orang-orang pedalaman, bukan Melayu, bukan Islam (Abdulsalam, 2017).

Pendapat di atas menunjukkan bahwa agama memiliki pengaruh yang kuat dalam membedakan suatu marga tertentu. Dalam hal ini Mandailing identik yang identik dengan agama Islam tidak mau menganggap dirinya sebagai bagian dari Batak, seperti orang-orang yang bermarga Lubis, Nasution, Harahap, Siregar, dan lain-lain. Hal di atas berbeda halnya dengan Toba bahkan Karo yang identik dengan agama Kristen dan merupakan bagian dari Batak, seperti marga Simanjuntak, Sihagian, Sinaga, Situmeang, dan lain sebagainya.

Penamaan seseorang dengan melekatkan marga yang identik dengan agama tersebut juga dipertegas dengan nama depan ataupun nama tengah, seperti nama Muhammad dan Yusuf bagi orang yang beragama Islam, dan nama Jhohanes dan Joseph bagi yang beragama Kristen. Nama marga yang selalu melekat dalam identitas seseorang tersebut bersifat melekat, walaupun seseorang tersebut berpindah agama. Beberapa orang yang berpindah agama juga ikut merubah nama depannya, namun dalam beberapa kasus juga tidak merubahnya karena dianggap sebagai warisan orang tua. Misalnya dalam kasus yang terjadi adalah Jhoni Arifin Situmeang berubah menjadi Muhammad Arifin Situmeang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *