‘Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ merupakan suatu filsafat Minangkabau yang dalam bahasa Indonesia berarti adat berdasarkan agama, agama berdasarkan kitab Allah. Ada empat kata kunci yang terdapat dalam ungkapan tersebut, yaitu adat, basandi, syarak dan kitabullah. Kata adat menurut Koentjaraningrat (1980) adalah wujud ideal dari sebuah kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah, kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Fungsi adat tersebut terbagi dalam empat tingkatan atau lapisan. Tingkatan pertama yang bersifat abstrak dan luas ruang lingkupnya berupa ide-ide, dan gagasan. Tingkatan ini disebut dengan nilai budaya. Tingkatan adat yang kedua adalah sistem norma. Tingkatan ketiga adalah sistem hukum dan tingkatan yang terakhir adalah aturan-aturan khusus.
Kata syarak berasal dari bahasa arab yang artinya adalah hukum dan aturan yang ditetapkan oleh Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam kehidupan dunia. Dalam konteks yang lebih sederhana, syarak kemudian dimaknai sebagai syariat agama. Dalam hal ini kemudian diartikan sebagai syariat agama Islam karena agama asli orang Minangkabau adalah Islam(Yulika, 2017).
Basandi dalam bahasa Minang berasal dari kata ba- dan sandi. Arti kata tersebut adalah mempunyai dasar, ditopang atau dikuatkan (Yulika, 2017). Sementara itu, kitab Allah yang dimaksudkan adalah Al-Quran. Pada dasarnya antara adat dan ajaran agama tidak ada pertentangan, meskipun ada perbedaan. Islam merupakan agama yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Adat Minangkabau bersumber dari perumpamaan atau ikhtibar dari keteraturan alam semesta(alam takambang jadi guru). Sehingga di dalam adat Minangkabau dikenal dengan kaidah syara’ mangato adat mamakai(apa-apa yang dijelaskan dalam agama dipakai dalam adat).
Berdasarkan filsafat tersebut dapat diketahui bahwa adat dan agama di Minangkabau adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adat dan agama mewarnai setiap aspek kehidupan masyarakat Minangkabau, tak terkecuali dalam penamaan. Masyarakat Minangkabau menjadikan Al-Qur’an sebagai salah satu inspirasi dalam memberikan nama pada anak-anaknya. Sejumlah tokoh nasional yang kita kenal seperti Mohammad Natsir, Soetan Sjahrir, Mohammad Yamin, HAMKA, Marah Roesli, Mohammad Djamil dan Awaludin Djamin, menggunakan bahasa arab atau bahasa Al-Qur’an dalam penamaannya.
Apabila kita telusuri lebih lanjut, sebelum populer dengan penamaan bahasa arab, orang-orang Minang cenderung memberikan nama pada anaknya dengan mengambil inspirasi pada hal-hal yang dekat dengan kehidupan mereka[1]. Penamaan dalam masyarakat Minangkabau masa lampau berpegang pada falsafah ‘alam takambang jadi guru’. Artinya bahwa apa yang ada di alam semesta ini bisa dijadikan pelajaran hidup/guru/inspirasi. Oleh karena itu, orang-orang menamai daerah-daerah baru, kampung, dan nama-nama suku-suku dengan falsafah ini, termasuk juga menamai orang (anak) dan gelar. Tak mengherankan jika banyak orang Minang jaman dahulu memberikan nama anak dengan nama; Kirai, Upiak Arai, Talipuak, Si Rancak, Jilatang, Pawuah, Kambuih, Si Peto, Masiak, atau Jangguik. Namun penamaan seperti ini sudah ditinggalkan seiring menguatnya orientasi keagamaan pada masyarakat Minang serta adanya arus deras globalisasi. Masyarakat Minang kemudian beralih menggunakan nama Arab dan nama Eropa dalam penamaan anak.[2]
Pasca takluknya peristiwa PRRI-Permesta, orang Minang mengalami tekanan mental luar biasa dari pemerintahan Jakarta. Banyak diantara mereka kemudian memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau. Mulai pula orang berusaha menanggalkan identitas dan label Minangnya, salah satu lewat perubahan nama. Seorang pejuang pemberontak PRRI yang semula bernama Bastian St. Ameh, kemudian merantau ke Jawa dan merubah namanya menjadi Sebastian Tanamas.[3]
Adapun nama yang populer digunakan orang Minang pada hari ini salah satunya adalah nama Wulandari untuk nama perempuan dan nama-nama yang berakhiran ‘o’ untuk nama laki-laki, seperti: Susanto, Hermanto, Parmanto. Nama Gubernur Sumatera Barat yang saat ini sedang menjabat pun menggunakan Nama Jawa, Irwan Prayitno. Irwan Prayitno sendiri adalah putera asli Sumatera Barat, kelahiran Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat. [4]
Selain nama-nama jawa yang berakhiran ‘o’ , nama-nama eropa juga cukup populer saat ini. Tercatat ada nama Leonardy Armaini, Jeffry Geovanni yang menggunakan nama bernuansa eropa. Nama-nama lain yang bernuansa eropa cukup banyak ditemukan, seperti: Adilov, Azinov, Roberto, Hendri, Netty, Isabella, Maria, atau Kenedi. Nama-nama tersebut biasanya dibentuk berdasarkan bulan lahir, peristiwa (sejarah), meniru orang ternama, atau penggabungan nama orangtua. Pola perubahan nama itu juga dapat dibaca dari Indra J Piliang (44) bersaudara. Ahmad Busra (48), Zainul Bahri (46), Yunas Setiawan (42), Mardiyah Hayati (40), Benny Perwira (38), dan Akbar Fitriansyah (35). Tak ada satu pun yang memakai nama Piliang, salah satu nama suku di Minang. Selain itu, juga ada suku Koto dan Chaniago. Indra sendiri sebelumnya tidak memakai Piliang hingga dia kuliah di Universitas Indonesia dan bertemu pakar sejarah Ong Hok Ham yang menduga Indra orang Jawa. Indra kemudian disuruh memakai nama Piliang sebagai identitas Minang. Menjelang Orde Baru runtuh, ketakutan sejarah meluntur sehingga orang Minang semakin berani menunjukkan identitas dirinya meskipun tidak terang-terangan. Ini misalnya terlihat dari cara mereka menamai anak-anaknya, seperti Adespil (Anak Desa Piliang) dan Andescha (Anak Desa Chaniago).[5]
Di era milenial seperti sekarang ini, ada beragam nama yang muncul di Minang. Namun secara umum terlihat penguatan kembali penggunaan nama Arab pada diri anak-anak Minang. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari daftar hadir di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi. Berdasarkan observasi yang dilakukan dari tanggal 12-16 Maret 2019, terlihat bahwa lebih dari 50% dari nama yang ada dalam daftar hadir tersebut menggunakan nama-nama arab. Meskipun masih ada juga nama-nama unik khas Minang yang menggunakan akronim tertentu. Seperti nama ‘Risberg’ mahasiswa Universitas Negeri Padang kelahiran tahun 1997. Nama Risberg tersebut merupakan akronim dari ‘Republik Indonesia sedang bergolak’. Ada pula mahasiswa dengan nama Indah Galang Dana Pratiwi. Setelah ditelusuri ternyata mahasiswa tersebut lahir disaat Indonesia sedang mengalami krisis moneter dan pada saat itu banyak orang melakukan penggalangan dana untuk membantu menanggulangi krisis tersebut.
Berdasarkan penggambaran tersebut dapat diketahui bahwa pola penamaan masyarakat Minang dapat dipengaruhi oleh 5 hal:
- Contoh: Risberg, Indah Galang Dana Pertiwi, Rila Kurniawati(Rila = Lahir pada hari kelahiran pancasila)
- Kreasi sendiri. Contoh: Bimbi Setiawan (Bimbi=Bimbingan Biologi (Kebetulan ayahnya seorang guru Biologi), Setiawan=Nama Ayah); Rozidateno Putri Hanida (Rozi = Nama Ayah; Dateno = Datang Tiga November; Putri = Perempuan; Hanida = Hasil niatan Ibu dan Bapak); Borno Vio Sesaria (Lahir melalui operasi sesar); Faldo Maldini (Maldini= Malam dini Hari)
- Mengikuti nama tokoh/artis. Contoh: Defanan (Artis India); Ledi Dai (terinspirasi dari Lady Diana), Mose Dayan (Terinspirasi dari Menteri Pertahanan Israel), Moamar Khadafi, Saddam Husein, Marimar.
- Mengikuti penamaan orang Jawa. Contoh: Hermanto, Sartono, Mulyarto. Masyarakat Minang, Khususnya yang tinggal di Kabupaten Pesisir Selatan memiliki keyakinan bahwa dengan menggunakan penamaan jawa pada anak-anaknya maka akan mempermudah jenjang karir sang anak jika mereka berkiprah di jalur pemerintahan atau militer. Oleh karena itu, kebanyakan orang Kabupaten Pesisir Selatan menggunakan nama yang berakhiran ‘o’.
- Biasanya namanya campur-campur. Kelompok ini biasanya menggunakan media sosial mainstream untuk mencari ide penamaan.
Sama dengan konteks di Jawa, di Minang dikenal pula dengan ‘kabotan jeneng’. Orang yang kabotan jeneng tersebut biasanya ditandai dengan menderita penyakit yang tidak kunjung diberikan kesembuhan. Orang seperti ini biasanya akan diganti namanya atau akan ditambahkan dengan nama belakang orang lain yang kebetulan memiliki kesehatan prima. Sebagai contoh ada seorang perempuan yang bernama Siti Nurijah, karena perempuan ini sakit dalam waktu yang lama, kemudian nama belakangnya ditambah menjadi Siti Nurijah Campua. Campua ini adalah nama perempuan Minang yang berbadan sehat dan segar. Dengan menambahkan nama Minang ini, orang tua Siti Nurijah berharap kondisi anak perempuannya akan seperti Campua yang sehat dan berbadan segar.
Profesi, latar belakang pendidikan dan tingkat literasi orang tua sedikit banyak turut mempengaruhi cara penamaan diri anak-anak Minang. Anak-anak dari orang tua berstatus ekonomi menengah ke atas, berpendidikan dan berprofesi formal biasanya akan memiliki nama yang memiliki makna atau filosofi yang baik atau setidaknya dari aspek penulisan juga benar. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan sejumlah nama unik di Minang. Nama tersebut diantaranya adalah Manuver. Setelah dilakukan pelacakan ternyata orang tua dari Manuver ini adalah seorang buruh yang tingkat literasinya tidak begitu bagus. Orang tua manuver ini pernah mendengar kata ‘manuver’ dalam berita di televisi dan menurutnya kata manuver terdengar keren. Demikian juga dengan nama Ledi Dai. Di Sumatera Barat ada sejumlah orang tua yang terinspirasi dengan Lady Diana, Putri Wales, sehingga mereka gunakan nama tersebut untuk anak-anak mereka. Namun demikian, ada banyak versi penulisan dari nama tersebut. Ada yang menulisnya dengan Ledi Dai dan ada pula yang menuliskannya dengan Lady Dy dan Lady Di. Cara penulisan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh literasi dari orang tua anak tersebut.
Kasus yang berkebalikan terlihat dari nama Borno Vio Sesario dan Sureman. Kedua orang yang memiliki nama unik ini berasal dari masyarakat yang terkenal memiliki literasi yang bagus, sehingga dalam memberikan nama pun terdengar filosofis dan secara teknis penulisan pun benar. Kedua orang ini berasal dari Payakumbuh, dimana Tokoh Tan Malaka berasal. Nama-nama putra dan putri mahkota Istana Pagaruyung juga memberikan gambaran relasi latar belakang sosial dengan penamaan. Nama-nama tersebut antara lain: Sutan Ahmad Riyadh, Sutan Muhammad Ridha, Sutan Ali Rumandung, Puti Reno Tsuraiya Taib dan Puti Reno Raudhatul Jannah Taib.
Masih sama dengan budaya penamaan di Jawa, dalam tradisi Minang juga dikenal dengan adanya nama kecil dan nama dewasa. Hal ini terkait dengan budaya Minangkabau yang memberikan nama gelar pada pria dewasa yang sudah menikah. Pria yang sudah menikah akan diberikan gelar di belakang namanya, sesuai dengan ungkapan “ketek banamo, gadang bagala”. Maksudnya, ada dua sapaan bagi orang Minangkabau, yaitu nama yang diberikan oleh keluarga ketika masih kecil dan gelar yang biasanya diberikan kepada kaum pria beberapa saat sebelum melangsungkan pernikahan. Pada nagari tertentu, setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya dan masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan ini biasanya bermulai dari sutan, bagindo, atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir, sementara di kawasan Luhak Limo Puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Meskipun tidak ada pola penamaan yang khas, gelar sebagaimana dijelaskan di atas merupakan kekhasan yang dimiliki oleh masyarakat Minang. Terdapat tiga jenis gelar adat di Minangkabau, yang berbeda pengunaannya yakni Gala Mudo (Gelar muda), Gala Sako (Gelar pusaka kaum), dan Gala Sangsako (Gelar kehormatan).
Gala Mudo merupakan gelar yang diberikan kepada semua laki-laki Minang yang menginjak dewasa yang pemberiannya pada saat upacara pernikahan. Yang berhak memberi gelar mudo adalah mamak atau paman dari kaum marapulai atau pengantin laki-laki, namun boleh juga dari kaum istrinya. Khusus di daerah Pariaman gala mudo diberikan oleh ayahnya. Gelar ini sering dikaitkan dengan ciri, sifat dan status penerima. Contoh Sutan Batuah karena yang bersangkutan punya keahlian menonjol. Sutan Pamenan sering diberikan kepada menantu yang di sayangi. Banyak ragam dari gala mudo ini menurut inovasi masing-masing kampuang atau nagari.
Contoh gala tersebut adalah, sutan, tuah. Sutan adalah yang sangat luas penggunaannya hampir disemua nagari menggunakan gelar ini.Pemakaiannya dibelakang nama kecil, contoh Asril Sutan Mantari, Burhan Sutan Mangkuto, atau Muchtar Tuah Palito. Menantu laki-laki meskipun bukan orang Minagkabau dapat diberikan gala mudo yang biasanya diberikan oleh kaum mamak pengantin wanita boleh juga oleh kaum / keluarga istri.
Gelar kedua adalah Gala Sako atau gelar adat merupakan gelar pusaka kaum yaitu gelar datuk, pangulu atau raja. Raja di Minangkabau disebut Pucuak Adat. Gala Sako adalah gelar turun temurun menurut garis ibu. Tidak boleh diberikan kepada orang yang bukan keturunan menurut adat Minangkabau. Gelar datuak atau pangulu diberikan kepada laki-laki dalam kaum atau suku yang dinilai mampu untuk memimpin kaum. Karena datuk / pangulu adalah jabatan tertinggi dalam kaum yang mempunyai kewenangan dan hak memimpin kaum. Proses pemilihan datuk/pangulu sangat demokratis melibatkan seluruh anggota kaum. Contoh gala sako, Datuak Kayo, Datuak Sati, Datuak bandaharo, begitu pula Pangulu Gadang, Pangulu kociak, Pangulu Pasa, Pangulu Kayo.
Gelar Raja atau Pucuak Adat antara lain; Daulat yang Dipertuan, yang Dipertuan, Tuanku, dan Rajo contoh, Daulat yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau, disebut juga Daulat yang Dipertuan RA Pagaruyuang Darul Qoror. Daulat yang Dipertuan Tuanku Sambah Rajo Alam Surambi Sungai Pagu (Muara Labuah), yang Dipertuan Padang Nunang (Rao), Tuanku Bagindo Kali (Kumpulan)
Gelar dicantumkan dibelakang nama kecil; Amran Datuk Bandaro Kuniang, Mahmud Pangulu Kayo, Datuk Sati Nanputiah. Sutan Muhammad Taufiq SH, Daulat yang Dipertuan Rajo Alam Pagaruyuang DQ, Firman Rajo Godang dan lain-lain
Gelar terakhir adalah Gala Sangsako merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang berjasa, berprestasi yang mengharumkan Minangkabau, agama Islam, bangsa dan negara serta bermanfaat bagi warga Minangkabau. Dalam konteks akademik, gelar ini mirip dengan gelar Doktor Honoris Causa. Yang berhak memberi gelar sangsako adalah limbago adat Pucuak Adat Kerajaan Pagaruyuang, Pucuak Adat Kerajaan sapiah balahan dan datuak/pangulu kaum.
Gala Sangsako hanya boleh dipakai si penerima penghargaan, tidak dapat diturunkan kepada anak atau keponakan. “Apabila yang menerima meninggal dunia, gala kembali kedalam aluang petibunian. Dalam istilah adat disebut sahabih kuciang sahabih ngeong artinya kalau kucingnya habis (mati) maka tidak akan mengeong lagi,”
Beberapa tokoh nasional yang sudah diberikan gelar sangsako adat seperti Sri Sultan Hamengkubuwono X, Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono, Ani Yudhoyono, Zulkifli Nurdin, Alex Nurdin, Syahrial Oesman, Anwar Nasution, dan Syamsul Maarif. Sementara orang asing yang pernah mendapat gala sangsako (satu-satunya yang tercatat dalam sejarajh adalah Thomas Diaz yang melakukan perjalanan ke Pagaruyung Pada tahun 1684. Ia dianggap sebagai orang eropa pertama yang bertemu dengan raja Pagaruyung dengan maksud untuk menjalin hubungan bisnis sehingga Thomas Diaz dianugerahi gelar “Rangkayo Saudagar Rajo“.
[1] Hasil wawancara dengan Prof Gusti Asnan, Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Padang. Wawancara dilakukan tanggal 14 Maret 2019.
[2] Hasil wawancara dengan Prof Duski Samad, Ketua MUI Kota Padang. Wawancara dilakukan tanggal 11 Maret 2019.
[3] Hasil wawancara dengan Prof Gusti Asnan, Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Padang. Wawancara dilakukan tanggal 14 Maret 2019.
[4] Hasil wawancara dengan Prof Haris Effendi Thahar, Guru Besar Fakultas Seni dan Bahasa Universitas Negeri Padang. Wawancara dilakukan tanggal 14 Maret 2019.
[5] Dikutip dari harian Kompas https://regional.kompas.com/read/2016/02/08/14294371/Ketika.Orang-orang.Minang.Sempat.Takut.Memakai.Nama.Asli.Daerah