Meskipun sudah banyak sarjana yang meneliti budaya Minang, tidak banyak dari mereka yang secara spesifik mendalami tentang penamaan. Rona Almos, Bahren, Zilda Alamanda dan Reniwati merupakan sedikit dari scholar di Indonesia yang melakukan penelitian tentang penamaan. Keempet peneliti dari Jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang pada tahun 2010 melakukan penelitian tentang makna nama diri pada masyarakat Minangkabau. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa nama diri pada entitas masyarakat minang senantiasa mengalami perubahan seiring dengan derasnya arus informasi dan juga interaksi masyarakat minang dengan pihak luar (Almos, R., & Bahren, Z. A,2010).
Perubahan sebagaimana digambarkan juga telah ditegaskan dari hasil penelitian lapangan yang telah dilakkan dan digambarkan pada sub bab terdahulu. Perubahan tersebut terjadi dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh berbagai hal.
1. Nama Anak-Anak Semakin Hybrid
Policy paper ini dikembangkan berdasarkan penelitian lapangan yang menggali tentang perkembangan nama diri orang Minang (Sumatera Barat) di Kota Padang dan Pariaman. Data nama dikoleksi dari data pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang di-download dari website Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (www.kpu.go.id). Data tentang nama ini direntang secara diakronis berdasarkan dekade sejak tahun 1941 (dekade 1940-an) sampai tahun 2000, sebagaimana data yang ada dalam data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data ini kemudian diolah berdasarkan register kebahasaan ke dalam 6 kategori: (1) nama berbasis tradisi, yaitu nama khas Jawa atau Sansekerta; (2) nama berbasis agama, yaitu nama Arab atau nama baptis; (3) nama dari suku lain, yaitu nama pendatang atau nama yang diadopsi dari suku lain di Indonesia; (4) nama global, yaitu nama Eropa, atau nama Barat, atau nama asing lainnya; (5) nama campuran, yaitu nama kombinasi antara nama yang berbasis tradisi dan agama (nama Arab/Baptis); dan (6) nama superhybrid, yaitu nama kombinasi dari nama yang berbasis tradisi, agama, dan global. Selanjutnya, hasil pengolahan data tersebut disuguhkan dalam bentuk statistik.
Berdasarkan data yang ada, perkembangan nama orang Minang berlangsung secara dinamis, sebagaimana berikut:
Berdasarkan data statistik di atas, sejak dekade 1970-an, nama orang Minang sudah dikarakterisasi oleh nama global; seperti nama Jhon Keneddy, Valentino, dll. Hal yang sama berlaku juga untuk nama Arab. Nama Arab yang merupakan register Keislaman bagi orang Minang sudah digunakan sejak tahun 1940-an.
Memasuki era 1980-an, nama yang berbasis tradisi semakin berkurang , sementara itu, nama superhybrid yang mengadopsi register tradisi, agama, dan globalisasi sekaligus semakin meningkat. Pertumbuhan kategori nama superhybrid ini menandakan bahwa orang Minang semakin literate (terdidik) dan makmur.
2. Nama Anak-Anak Semakin Panjang
Sebelum tahun 1970-an, konstruksi nama orang Minang lebih banyak memiliki unsur tunggal (Widodo, 2013c), terutama bagi kalangan kelas bawah (Uhlenbeck, 1971). Dalam perkembangannya, terutama semenjak tahun 1980-an, nama yang berunsur tunggal sudah sangat jarang dijumpai (Widodo, 2013c). Nama anak-anak orang Jawa sudah tidak lagi mencitrakan kelas sosial rendah. Nama mereka lebih panjang dari generasi sebelumnya, terdiri atas 2 sampai 4 kata (bahkan lebih), mencitrakan makna yang lebih berwarna.
Narasi-narasi tentang nama orang Minang tersebut juga ditemukan di Padang dan Pariaman yang menjadi sampel dalam riset ini:
Data statistik di atas menunjukkan bahwa tahun 1980-an orang Minang sudah menganggap bahwa nama tunggal (terdiri atas 1 kata) yang diberikan kepada anak-anak sudah tidak lagi populer.. Dengan demikian, konteks lain yang berubah dari nama orang Minang ialah nama yang semakin panjang, terdiri atas beberapa kata. Bahkan, semenjak akhir abad ke-20, semakin banyak dijumpai nama yang terdiri atas 4 kata.
3. Nama Anak-Anak Semakin Unik
Dengan semakin panjangnya nama orang Minang, terdiri atas beberapa kata, maka nama orang Minang juga semakin unik. Sebelum tahun 1950-an, ada banyak nama yang sama di kalangan orang Minang karena ada banyak nama tunggal (terdiri atas 1 kata). Saat ini, nama orang Minang hampir tidak ada yang sama persis, dan sumberdaya linguistiknya juga semakin unik.
Jika penamaan merupakan tindakan klasifikasi sosial [ (Lévi-Strauss, 1966) (Lévy-Bruhl, 1926 [1912]) (Mauss, 1985 [1938])], maka sebelum tahun 1980-an, banyak orang Minang mengidentifikasi diri mereka sebagai “wong kampung”: sebagaimana lazimnya orang Minag kebanyakan hanya memiliki nama yang terdiri atas 1 kata. Akan tetapi, ketika mereka semakin berpikiran maju, literate, dan makmur, yang semakin tumbuh ialah keunikan nama, bahwa mereka semakin memberi perhatian pada perbedaan (keunikan) anak-anak mereka melalui penamaan.
Orang Minang berusaha menemukan keunikan nama bagi anak-anak mereka melalui media: TV (sinetron dan film), koran (nama-nama tokoh terkenal), buku-buku tentang nama, atau website di internet yang menyediakan nama-nama asing dari berbagai bangsa. Bahkan lebih jauh lagi, orang Minang memadukan nama-nama yang unik itu dengan nama-nama lain yang lebih bersifat lokal atau bernuansa keyakinan agama, sehingga nama anak-anak orang Minang di akhir abad ke-20, di samping semakin unik, juga semakin panjang. Dengan demikian, konteks lain yang berubah dari nama orang Minang ialah meningkatnya keunikan nama bagi orang Minang.