Nama-nama orang bagi masyarakat Maluku pernah menjadi pusat perhatian ketika terjadinya perpecahan antar golongan dengan latar belakang perbedaan Agama. Peristiwa ini pun mengakibatkan segregasi atau pemisahan suatu golongan masyarakat yang beragama Islam dengan golongan masyarakat yang beragama Kristen. Nama-nama orang dengan identitas keagamaan Islam dan Kristen menjadi diasingkan satu sama lain, bahkan saling ditutupi agar tidak memicu konflik antar masyarakat yang berbeda keyakinan.
Pemberitaan Suara Maluku awal-awal konflik sebetulnya tidak provokatif, karena pemakaian kata-kata Islam atau Kristen dihindari. Suara Maluku banyak memakai nama desa atau sebutan seperti kelompok bertikai atau warga desa. Tapi Ambon kota kecil, dengan menyebut nama desa atau nama orang saja sudah terlihat desa itu Islam atau Kristen. Dalam edisi 23 Maret 1999 misalnya, Suara Maluku melaporkan nasib pengungsi dan rumah-rumah yang hancur di Ambon. Semua bangunan dan pengungsi warga Kristen, sehingga ini bisa menimbulkan penafsiran Suara Maluku berpihak kepada warga Kristen. (Eriyanto, 2014)
Kecenderungan di Maluku ini sejalan dengan perkembangan yang lebih luas pada skala internasional, di mana komisi kebenaran dan penegakan hukum, keadilan dan hak asasi manusia, pengampunan dan amnesti sering gagal sebagai sarana rekonsiliasi. Kasus Maluku ini relevan dengan dua tren di seluruh dunia, yang pertama adalah orang-orang biasa yang terkena dampak kekejaman massal semakin memobilisasi lembaga-lembaga tradisional atau mekanisme penyelesaian konflik untuk perdamaian dan stabilitas untuk mengkompensasi kekurangan atau kegagalan intervensi nasional dan internasional. Kedua, orang dan organisasi yang terlibat dalam mengembangkan strategi penyelesaian konflik sudah mulai berpikir tentang integrasi faktor budaya ke dalam proses rekonsiliasi. (Brauchler, 2009)
Pembangunan bangsa Alifuru sebagai komunitas kekerabatan alami dari leluhur bersama masyarakat Maluku, digunakan oleh Manuputty (Ketua Cabang Eksekutif FKM) sebelum deklarasi Front Kedaulatan Maluku (FKM) pada Juni 2000 dalam memanggil masyarakat internasional untuk mendukung klaim mereka untuk membangun negara yang berdaulat. Setelah memiliki konotasi negatif untuk orang primitif, konsep Alifuru kemudian muncul kembali sebagai simbol positif dari leluhur dan budaya Maluku. Kepercayaan pada bangsa melibatkan upaya untuk menciptakan kembali rasa ‘kesatuan’ dengan menyangkal perbedaan dan melihat bangsa sebagai komunitas kesamaan budaya. (Turner, 2003)
Selama awal 2001, penggunaan bangsa Alifuru sebagai konsep komunitas secara otomatis menciptakan perbedaan yang jelas antara orang Maluku asli dan orang non-Maluku yang bermigrasi ke daerah tersebut. Baku tembak baru dan kedatangan anggota tambahan Laskar Jihad melihat demonstrasi orang-orang Kristen dengan spanduk bertuliskan: Semua orang non-Alifuru harus diusir dari Maluku (Turner, 2003). Alifuru juga dikenal sebagai semangat Islam yang berasal nama sahabat nabi yang bernama Ali di Arab, namun ada juga yang menyebutnya sebagai Alfor dari bahasa Porugis yang berarti orang liar. Sebutan tersebut diberikan dari penjajah kepada penduduk lokal di wilayah tersebut yang baru dikenal sebagai penciri. Artinya, sebutan Alifuru ini bukan berasal dari Maluku, melainkan dari luar (kolonial) sebagai penamaan indegeneus people.
Meskipun orang Sumatera Utara semakin terdidik dan makmur, mereka tidak serta-merta menjadi kebarat-baratan. Hampir mirip dengan mystic synthesis (Ricklefs, 2006), mereka tetap memelihara register tradisi dan agama dalam nama anak-anak mereka. Dengan demikian, nama anak-anak orang bersuku di Maluku di akhir abad ke-20 menjadi semakin hybrid: menyerap semua register tradisi, keagamaan (terutama Islam melalui nama Arab), dan globalisasi (melalui nama Barat atau Eropa). Dengan demikian, konteks yang berubah dalam penamaan bagi orang Maluku semenjak akhir abad ke-20 ialah hibridisasi nama dengan sumber-sumber linguistik yang semakin luas. Berdasarkan data yang ada, perkembangan nama orang yang bersuku di Maluku berlangsung secara dinamis, sebagaimana berikut:
Globalisasi yang berdampak pada sistem reformasi pemerintahan negara Indonesia telah berdampak pula sampai ke daerah-daerah. Masyarakat daerah Maluku memiliki dampak yang cukup signifikan dirasakan dalam hal carut marut perkembangan keagamaan, yang tidak hanya berpengaruh terhadap keyakinan saja, melainkan meluas secara fisik telah mengakibatkan konflik identitas karena perbedaan yang sangat mendasar. Lebih dari pada itu, secara spesifik perubahan sangat nampak pada penamaan seseorang, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat asli Maluku maupun pendatang.
Nama-nama orang di Maluku banyak dengan berlatar belakang agama. Pengaruh Agama Islam masuk di Maluku pada abad 14 yang dipengaruhi oleh Bangsa Arab dengan nama-nama seperti Muhammad, Husein, Hasan. Pengaruh Agama Katolik masuk pada abad 16 pertengahan yang dipengaruhi oleh Bangsa Portugis dengan munculnya nama-nama marga seperti de Queljoe dan de Fretes. Sementara itu, pengaruh Agama Kristen Protestan masuk pada abad 16 akhir yang dipengaruhi Bangsa Belanda dengan nama-nama marga seperti van Capelle. Marga asing tersebut juga masih ada sampai saat ini di tempat negara tersebut berasal. Namun sebelum datanganya pengaruh tersebut, Maluku juga sudah terpengaruhi Agama Hindu, tapi hanya di Maluku Tenggara, dan sebelum itu pula kebanyakan paham animisme dan dinamisme sebagai Agama Lokal, seperti Agama Nunusaku.
Pada saat masyarakat Maluku dimodernkan oleh Penjajah, nama-nama orang Maluku yang tadinya lokal berubah menjadi nama-nama asing, baik nama yang berasal dari Eropa maupun Arab. Di Maluku pada saat konversi ke Islam, hampir semua nama menggunakan nama-nama Islam. Nama-nama orang Maluku semakin menghilang, dan sangat sedikit bertahan hingga saat ini, sedangkan yang bertahan adalah nama-nama marga orang Maluku.
Persentase Muslim di provinsi Maluku antara 1971 dan 1990 tumbuh dari 49,9 menjadi 56,8 (Klinken, 2001). Pada 1997, jumlahnya mencapai 59,02 persen (ICG, 2002). Sementara di tingkat provinsi keseimbangan bergeser dari 50/50 menjadi 40/60 demi kaum Muslim, di kota Ambon keseimbangan agama bergeser dari mayoritas Kristen 57,5 persen menjadi hanya di bawah 50 persen yang mencakup sedikitnya 50.000 migran Muslim dari Sulawesi Selatan (Jubilee Campaign UK 1999, 4). Perubahan-perubahan ini berasal dari gubernur Muslim pertama Akip Latuconsina pada tahun 1992 yang juga merupakan kepala provinsi ICMI. Penunjukannya dipandang sebagai awal dari marjinalisasi politik orang Kristen Ambon ketika Latuconsina mereformasi layanan sipil Maluku dengan menghapus birokrat papan atas dengan nama Kristen, menggantikan mereka dengan Muslim (Klinken, 2001). Pada 1996, semua bupati di provinsi Maluku adalah Muslim (Bertrand, 2004). Kebanyakan guru baru yang dipekerjakan pemerintah adalah Muslim. Apalagi banyak yang berasal dari luar Maluku. (Schulze, 2017)
Dalam menjaga masyarakat Maluku yang bebas dari konflik, Tim Perdamaian Wayame, yang disebut Tim 20 memberikan kisah yang kuat tentang warisan kerja sama Kristen dan Muslim di zona konflik Ambon. Tim 20 ini adalah tim perdamaian atau, lebih tepatnya, asosiasi sukarela antar agama, yang terdiri dari 10 Kristen dan 10 Muslim di desa Wayame di garis pantai Teluk Ambon. Didirikan secara resmi pada bulan Maret 1999, tiga bulan setelah pecahnya kekerasan di kota Ambon, tujuan utama Tim 20 adalah untuk mencegah eskalasi konflik Ambon dan menjaga perdamaian di Wayame.
Tim 20 menetapkan aturan yang harus diperhatikan oleh orang-orang Wayame, bersama dengan sanksi moral dan hukuman fisik bagi mereka yang melanggarnya. Aturan tersebut yaitu bahwa baik orang Kristen maupun Muslim di Wayame tidak diizinkan untuk menggunakan nama-nama slang, seperti “Obet” (Robert) untuk Kristen dan “Acang” (Hasan) untuk Muslim, atau istilah sarkastik atau merendahkan untuk merujuk pada kelompok agama lain, karena cercaan seperti itu mungkin menimbulkan kebencian dan memancing konflik. Pelanggaran aturan ini akan dihukum dengan tegas. (Qurtuby, 2013)
Perombakan di Maluku melihat birokrat atas nama-nama Kristen untuk memberikan ruang bagi yang Muslim. Saleh Latuconsina melanjutkan tren itu dengan memilih lulusan yang berasal dari desa Pulau Haruku di Ori, Pelauw (desanya sendiri), dan Kailolo. Anehnya, tidak ada yang berani menentang pernyataan bahwa keputusan ini didasarkan pada agama dan bukan menunjukkan pilih kasih kepada keluarga atau desa pelanggan sendiri. Kami perhatikan, ini adalah desa yang sama, yang orang-orangnya sangat menonjol di garis depan Muslim pada tahun 1999. (Klinken, 2001)
Data-data di atas jelas menunjukkan perubahan yang sangat mendasar, bahwa nama memberikan peran penting dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Maluku. Tidak hanya berkaitan dengan konservasi nama-nama masysarakat Alifuru sebagai masyarakat asli Maluku, melainkan juga untuk menjaga kerukunan dan toleransi karena perbedaan pandangan terhadap keagamaan masing-masing individu.
Meskipun segregasi Kristen-Muslim sudah terjadi sejak zaman Belanda, kerusuhan kolektif beberapa tahun silam telah membuat wilayah Ambon dan sekitarnya semakin tersegregasi berbasis agama (daerah Muslim dan daerah Kristen). Meski kerusuhan telah berlalu, banyak warga setempat yang masih trauma. Sebagian warga Kristen, terutama di malam hari, masih belum berani memasuki kawasan Muslim, begitu pula sebaliknya. Maluku, sejak berabad-abad silam, memang sangat kaya dengan local wisdom, yang selama ini dijadikan sebagai alat pemersatu dan pendamai umat Kristen dan Muslim dalam ikatan persaudaraan. Kini, mereka sedang berusaha kuat melakukan revitalisasi aneka kebijaksanaan lokal ini, demi mengembalikan Ambon dan Maluku ke altar perdamaian sejati antara basudarasalam dan sarane. (Qurtuby, 2017)
Masyarakat setempat terlihat menikmati segregasi ini, serta merasa lebih aman dan nyaman tinggal di wilayah masing-masing bersama komunitas seagama, ketimbang membaur dengan umat agama lain. Yang menarik dari kasus Ambon/Maluku adalah masyarakat Kristen-Muslim setempat tampaknya cukup bosan dengan idiom-idiom dan jargon-jargon agama sebagai perekat kembali relasi antaragama. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih tradisi, adat, dan budaya lokal (seperti salam-sarane, pela-gandong, dsb) sebagai medium untuk merajut kembali persaudaraan Kristen-Muslim.
PENAMAAN DAN IDENTITAS KEAGAMAAN
Nama-nama orang masyarakat Maluku yang tercermin dalam nama marga sebagaimana ditunjukkan di atas memperlihatkan bahwa setiap identitas nama lokal seseorang relevan dengan identitas keagamaan seseorang. Setiap nama orang dapat diidentifikasi agamanya, bahkan nama dari nama tersebut juga dapat ditelusuri asal identitas nama seseorang tersebut.
1. Nama sebagai pendekatan pasca konflik
Beberapa ada yang memang suatu nama marga cenderung ke arah salah satu agama tertentu, seperti nama marga Talake yang pasti beragama Islam, dan nama marga Taar yang pasti beragama Kristen. Namun ada pula beberapa suatu nama marga yang dapat diidentifikasikan beberapa agama, yaitu seperti nama marga Nurlette dan Wakano yang dapat beragama Islam maupun Kristen.
Setiap orang bersuku dari Maluku juga pasti memiliki nama marga, karena hal tersebut akan mencerminkan negeri (desa) tempat nenek moyang dari orang tersebut berasal. Secara patron klien, masyarakat maluku akan menurun nama marganya dari garis keturunan laki-laki. Jadi, tidak dimungkinkan akan munculnya nama marga-marga baru, karena setiap marga pasti memiliki daerah yang sudah sejak lama didiami oleh nenek moyang tersebut.
Pemerintah Daerah Maluku memiliki peran penting dalam membangun perdamaian dan resolusi konflik bagi masyarakat Maluku sebagaimana dijelaskan di atas. Pemerintah daerah Maluku dari hasil pengamatan peneliti belum memiliki peraturan daerah yang mengatur secara tegas tentang penamaan lokal sebagai upaya menjaga perdamaian dan resolusi pasca konflik.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, terdapat kekosongan kebijakan terhadap penamaan pada seseorang yang memiliki keturunan suku asli Maluku. Secara personal, pemberian nama seseorang tersebut memang merupakan hak dari orang tua kepada anaknya. Namun demikian, dalam rangka pelestarian identitas lokal, pemberian nama dengan berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan masyarakat suku Maluku menjadi penting. Hal ini juga tidak terlepas dalam menghadapi perkembangan arus global yang dapat dikatakan terdapat nilai-nilai yang tidak sejalan dengan kearifan lokal masyarakat asli Maluku. Sementara itu, pemberian nama-nama terhadap seseorang yang bersuku asli Maluku juga memiliki makna dan tujuan yang baik, sehingga hal tersebut menjadi sesuatu yang positif bagi komunitas lokal maupun nasional dalam rangka melindungi kearifan lokal yang telah menjadi identitas nasional.
Masyarakat Maluku pernah menjalankan kebijakan dalam rangka menjaga menjaga perdamaian dan menghindari konflik, yaitu dengan membuat peraturan bahwa baik orang Kristen maupun Muslim di Wayame tidak diizinkan untuk menggunakan nama-nama slang, seperti “Obet” (Robert) untuk Kristen dan “Acang” (Hasan) untuk Muslim. Hal ini sangat menarik, karena alternatid dalam penamaan seorang dapat digantikan dengan nama-nama orang masyarakat Maluku pada sejatinya, bukan lagi mengarah pada diversitas yang mengakibatkan adanya segregasi antara golongan agama yang satu dengan yang lainnya.
Konservasi budaya dengan melindungi identitas lokal melalui penamaan masyarakat lokal sebagai upaya menjaga perdamaian dan resolusi pasca konflik sebagaimana dijelaskan di atas menunjukkan bahwa negara memiliki peran penting. Negara melalui pemerintah daerah juga memiliki potensi besar dalam melestarikan kebudayaan sesuai dengan kearifan lokal yang ada pada masyarakat suku asli Maluku.
Negara dapat membangun regulasi yang mendukung terhadap pelestarian nama-nama orang asli Maluku. Regulasi yang dibangun oleh negara dapat dilakukan melalui kebijakan daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, yang memiliki paham lebih luas terkait dengan kearifan lokal yang ada di daerahnya. Kebijakan yang dibuat tentunya atas observasi yang mendalam, dengan pertimbangan yang matang oleh ekstekutif maupun legislatif sebagai pihak yang berwenang dalam mengambil keputusan.
Keputusan yang diambil oleh pengambil kebijakan dapat berupa materi baru yang memang dianggap belum ada payung hukumnya, namun juga dapat dilakukan dengan merevisi peraturan yang sudah ada, sehingga sifatnya lebih kepada melengkapi kebijakan yang sudah ada. Potensi yang dimiliki oleh negara ini dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berbentuk peraturan daerah provinsi/kota/kabupaten, serta peraturan, surat keputusan, ataupun surat edaran gubernur/walikota/bupati. Sementara itu, potensi negara juga dapat lebih terpusat pada bidang pendidikan dalam rangka melestarikan identitas lokal, pemerintah daerah dapat mengeluarkan kebijakan dalam bentuk surat keputusan ataupun surat edaran yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan provinsi/kota/kabupaten.
2. Pendekatan Pendidikan Identitas Lokal
Materi nama-nama orang lokal masyarakat Maluku yang diintegrasikan dalam materi pendidikan bahasa lokal menjadi langkah pendekatan yang strategis dalam dua hal, yaitu sebagai upaya melestarikan kebudayaan identitas lokal sekaligus menjadi upaya menjaga stabilitas perdamaian dan resolusi pasca konflik bagi kesejahteraan sosial masyarakat Maluku. Pendekatan ini juga perlu bersinergi dalam institusi pendidikan sebagai media edukasi yang produktif dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Dinamika tentang jumlah kata nama orang Maluku ditemukan dalam sampel dalam riset ini:
Data statistik di atas menunjukkan bahwa setiap dekade ada penurunan jumlah nama yang berjumlah tunggal, namun semakin banyak jumlah nama yang lebih dari satu kata. Seiring dengan meningkatnya literasi dan kemakmuran, sebagaimana masyarakat yang semakin maju memberikan nama yang terdiri atas 2 kata atau lebih kepada anak-anak mereka, maka orang Maluku pun ingin menunjukkan mobilitas vertikal mereka melalui pemberian nama pada anak-anak yang semakin panjang. Dengan demikian, konteks lain yang berubah dari nama orang yang bersuku di Maluku ialah nama yang semakin panjang, terdiri atas beberapa kata, bahkan semenjak akhir abad ke-20 semakin banyak dijumpai nama atas 4 kata.
Pendidikan sebagai pendekatan ini dapat dilihat dari Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 6 Tahun 2014 tentang Standar Pendidikan Dasar pada Pasal 7 (2) menjelaskan bahwa satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan wajib memenuhi standar pendidikan nasional dan standar pendidikan Daerah. Sementara itu, berkaitan dengan muatan lokalnya di atur dalam Pasal 8 (2) yaitu bahwa muatan lokal semua jenjang pendidikan dapat berupa Bahasa Daerah.
Sementara itu, pada tingkat daerah juga dapat dilihat pada Peraturan Walikota Ambon Nomor 2 Tahun 2010 tentang Muatan Lokal Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah Pasal 6 (2) dan 7 (2) menegaskan bahwa muatan lokal pilihan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh satuan pendidikan dan yang dapat dipilih salah satunya adalah materi Bahasa Daerah.
Bahasa daerah tidak lepas dari keanekaragaman identitas lokal yang ada di masyarakat suku asli Maluku menjadi bahan nilai-nilai pendidikan, termasuk nama-nama orang yang berada di daerah. Dengan demikian, bahan materi atau muatan lokal yang perlu ditekankan adalah terkait dengan penamaan orang-orang keturunan masyarakat daerah suku asli Maluku. Berdasarkan pada kebijakan di atas, maka mekanisme muatan pendidikan lokal dapat diterapkan pada satuan pendidikan menengah sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Secara spesifik Pemerintah Daerah Maluku belum memiki kebijakan tersebut, namun paling tidak negara memiliki pedoman untuk memfasilitasi kebijakan tersebut dengan pendekatan pendidikan.
Pembinaan Bahasa Daerah berdasarkan pada PP 57 2014 Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Pasal 21 (2) dapat dilakukan melalui pengajaran Bahasa Daerah di wilayah masing-masing pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta pengajaran Bahasa Daerah di wilayah masing-masing pada pendidikan program kesetaraan.
Peraturan ini juga menegaskan bahwa Bahasa Daerah yang diajarkan adalah bahasa asli daerah yang bersangkutan, namun Bahasa Daerah dari daerah lain yang penuturnya paling banyak di wilayah tersebut juga dapat diselenggarakan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi penggunaan Bahasa Daerah tersebut di wilayah masing-masing paling tidak melalui penerbitan buku-buku berbahasa daerah, maupun penyelenggaraan pertemuan dalam rangka pelestarian Bahasa Daerah.