Loading...
Analisis

Dinamika Penamaan Masyarakat Dayak

Secara sederhana penamaan dapat dimaknai sebagai proses dimana orang dikelompokkan berdasarkan lingkungannya. Premis utama dari gagasan ini adalah bahwa nama merupakan aktivitas politik yang sangat dipengaruhi oleh isu-isu kekuasaan (Vuolteenaho dan Berg, 2017). Hal yang sama terjadi pula pada Komunitas Dayak di Kalimantan Barat. Penamaan yang ada pada komunitas tersebut sebagaimana telah dikemukakan, sangat dipengaruhi oleh kekuasaan yang exist pada penggalan waktu tersebut. Pemberian nama pada komunitas suku dayak sangat kental dengan nuansa siapa yang yang banyak memberikan pengaruh pada era tersebut.

Nama diri pada komunitas suku Dayak di Kalimantan Barat berbeda dengan daerah lain, seperti di Minahasa atau di Batak. Pada nama diri mereka tidak ditemukan nama marga. Dahulu, nama mereka hanya terdiri dari satu kata yang terinspirasi dari alam sekitar. Seiring berjalannya waktu dan proses interaksi dengan misionaris, transmigran serta derasnya arus informasi yang masuk ke komunitas Suku Dayak di Kalimantan Barat membuat nama diri terus berubah. Nama diri pada komunitas suku Dayak bahkan sudah dikolaborasikan dengan nama-nama modern yang dibawa serta oleh misionaris, transmigran serta nama-nama yang mereka peroleh dari media-media sosial atau media lain yang menyediakan informasi penamaan.

Nama diri pada komunitas suku Dayak di Kalimantan Barat saat ini terdiri dari lebih dari satu kata yang pada umumnya meliputi nama khas Dayak yang dgabungkan dengan nama baptis atau nama permandian. Selain nama khas, nama diri komunitas Suku Dayak banyak pula yang merupakan nama yang muncul dari interaksinya dengan pendatang (transmigran) atau nama yang mereka peroleh dari internet yang digabungkan dengan nama baptis. Pada konteks ini, nama diri bagi komunitas Suku Dayak di Kalimantan Barat memiliki makna yang lebih luas, yang tidak hanya sebagai identitas diri, anmun juga doa dan harapan yang disematkan oleh orang tua untuk anaknya.

 

Nama Anak-Anak Semakin Hybrid

Policy paper ini dikembangkan berdasarkan penelitian lapangan yang mengkaji perkembangan nama-nama diri pada komunitas suku Dayak di Kaliamnatan Barat. secara spesifik yang dijadikan sebagai sampel yang mewakili komunitas Suku Dayak di Kalimantan Barat adalah Orang-orang suku Dayak yang tinggal di Kota Pontianak dan Kabupaten Bengkayang.  Data nama dikoleksi dari data pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang di-download dari website Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (www.kpu.go.id). Data tentang nama ini direntang secara diakronis berdasarkan dekade sejak tahun 1941 (dekade 1940-an) sampai tahun 2000, sebagaimana data yang ada dalam data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data ini kemudian diolah berdasarkan register kebahasaan ke dalam 6 kategori: (1) nama berbasis tradisi, yaitu nama khas Dayak; (2) nama berbasis agama, yaitu nama Arab atau nama baptis; (3) nama dari suku lain, yaitu nama pendatang atau nama yang diadopsi dari suku lain di Indonesia; (4) nama global, yaitu nama Eropa, atau nama Barat, atau nama asing lainnya; (5) nama campuran, yaitu nama kombinasi antara nama yang berbasis tradisi dan agama (nama Arab/Baptis); dan (6) nama superhybrid, yaitu nama kombinasi dari nama yang berbasis tradisi, agama, dan global. Selanjutnya, hasil pengolahan data tersebut disuguhkan dalam bentuk statistik.

Meskipun orang dari komunitas Suku Dayak di Kalimantan Barat semakin terdidik dan makmur, mereka tidak serta-merta menjadi kebarat-baratan. Hampir mirip dengan mystic synthesis (Ricklefs, 2006), mereka tetap memelihara register tradisi dan agama dalam nama anak-anak mereka. Dengan demikian, nama anak-anak orang komunitas Suku Dayak di akhir abad ke-20 menjadi semakin hybrid: menyerap semua register tradisi, keagamaan (terutama Islam melalui nama Arab), dan globalisasi (melalui nama Barat atau Eropa). Dengan demikian, konteks yang berubah dalam penamaan bagi orang Sumatera Utara semenjak akhir abad ke-20 ialah hibridisasi nama dengan sumber-sumber linguistik yang semakin luas. Berdasarkan data yang ada, perkembangan nama orang yang bersuku Dayak berlangsung secara dinamis, sebagaimana berikut:

Gambar 1. Dinamika Penamaan di Kota Pontianak Berdasarkan Register Kebahasaan

 

Gambar 2. Dinamika Penamaan di Kabupaten Bengkayang Berdasarkan Register Kebahasaan

 

Berdasarkan data statistik yang ditampilkan pada gambar 1 dan 2 dapa diketahui bahwa nama berbasis tradisi semakin menurun secara terus-menerus. Sementara itu, pada rentang waktu yang sama, nama berbasis agama terlihat semakin meningkat. Nama-nama yang semakin meningkat ini tersebut merupakan nama-nama yang menggunakan nama baptis atau nama permandian.

 

Nama Anak-Anak Semakin Panjang

Sebagaimana telah dipaparkan di bagian awal policy paper ini, bahwa penamaan diri pada komunitas suku Dayak senantiasa mengalami perkembangan. Dalam perkembangannya, nama-nama diri pada komunitas suku Dayak mengalami peningkatan jumlah kata dalam penamaan orang Sumatera Utara ini. Faktor semakin berkurangnya jumlah anak karena program Keluarga Berencana juga diduga menjadi faktor bagi orang tua yang memiliki sedikit anak, akan tetapi ingin memberikan banyak nama, karena dalam tradisi keluarga juga masih banyak yang berperan dalam pemberian nama. Nama anak-anak orang komunitas suku Dayak tentu sudah tidak lagi mencitrakan kelas sosial.

Gambar 3. Dinamika Jumlah Kata dalam Penamaan di Kota Pontianak

 

Gambar 4. Dinamika Jumlah Kata dalam Penamaan di Kabupaten Bengkayang

 

Secara jelas grafik di atas menunjukkan bahwa setiap dekade terdapat penurunan jumlah nama yang berjumlah tunggal, namun semakin banyak jumlah nama yang lebih dari satu kata. Seiring dengan meningkatnya literasi dan kemakmuran, sebagaimana masyarakat yang semakin maju memberikan nama yang terdiri atas 2 kata atau lebih kepada anak-anak mereka. Orang Dayak di Kalimantan Barat pun ingin menunjukkan mobilitas vertikal mereka melalui pemberian nama pada anak-anak yang semakin panjang. Dengan demikian, konteks lain yang berubah dari nama orang yang memiliki identitas suku Dayak ialah nama yang semakin panjang, terdiri atas beberapa kata, bahkan semenjak akhir abad ke-20 semakin banyak dijumpai nama atas 4 kata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *