Loading...
Analisis

Antropologi Penamaan Masyarakat Dayak

Mayoritas penduduk Kalimantan Barat adalah Suku Dayak, Suku Melayu, dan Tionghoa. Namun demikian, etnisitas di Kalimantan Barat lebih heterogen. Suku Melayu di Kalimantan Barat terdiri dari banyak kelompok suku, seperti Bugis, Banjar dan lainnya[1]. Suku melayu menyebar hampir di seluruh wilayah Kalimantan Barat. Kelompok Melayu Sambas, kelompok Melayu Mempawah, kelompok Melayu Kubu Raya dan kelompok Melayu Pontianak tinggal di wilayah tepi laut, pantai atau sungai.  Sementara itu kelompk Melayu Tayan, Melawi, Sintang, Kapuas Hulu, Ketapang, Bengkayang, Landak dan Sekadau hidup di pedalaman.

Ida Bagus Putu Prajna Yogi, dari Balai Arkeologi (2011) menyebutkan kedatangan orang-orang Tionghoa pertama kali di Kalimantan sekitar pertengahan abad ke-18. Mereka pada umumnya berdagang. Tetapi, ada banyak juga yang ‘berburu’ emas. Ketika penambangan emas mulai berkurang mereka mengubah mata pencahariannya menjadi petani atau pedagang hasil bumi.

 

Sementara itu, suku  Dayak sendiri tersebar di Daerah aliran sungai, pesisir dan daerah pedalaman.  Konsentrasi terbesar ada di Landak, Sanggau dan Bengkayang (Yusriyadi, 2018). Istilah Dayak pertama kali digunakan oleh Radermaker tahun 1790 untuk menyebut komunitas yang sekarang dikenal sebagai pribumi yang bukan islam (Yusriyadi, 2018). Istilah ini sejajar dengan istilah Melayu untuk penduduk yang beragama islam (Alloy, 2008). Istilah Dayak pada mulanya tidak diterima oleh orang pribumi yang bersangkuan. Hal ini terkait dengan konotasi negatif yang melekat pada nama Dayak tersebut(Van Haulten, 1992). [2]

Meskipun menolak menggunakan identitas Dayak, tetapi kalangan tertentu dari kalangan yang disebut Dayak ini melihat ada satu ikatan emosional yang bisa dipakai untuk menyatukan kekuatan politik pribumi bukan islam. Beberapa sumber menyebutkan pada masa awal penerimaan penggunaan identitas itu, kalangan pribumi menerima dengan setengah hati . Mereka menerima identitas Dayak dalam bentuk Daja atau Daya yang menggambarkan kekuatan bangkit atau bersemangat (Alloy, 2008; Pasti , 2003).

 

Pada tahun 1946, Daja atau Daya digunakan oleh Oevang Oeray dan kawan-kawan untuk menyatukan kekuatan politik yang melahirkan Daja in Action (DIA) yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Daya (PPD).  Pada tahun 1980, identitas Dayak mulai sering digunakan oleh pribumi. Pada masa itu istilah Dayak menjadi pengikat untuk bangkit dari keadaan yang disebut terpinggirkan.  Istilah Dayak pada tahun 1990-an di Kalimantan Barat mulai dipakai pula oleh kalangan pribumi yang memeluk islam, yang sebelumnya lebih dikenal dengan identitas Melayu, Senganan, atau Laut (Yusriyadi, 2018).

Nama Dayak secara etimologis berasal dari Bahasa Sansekerta (kawi) yaitu Dayaka yang berarti orang yang memberi; orang yang menaruh belas kasihan; pemberi atau penderma. Nama yang diberikan oleh orang Hindu saat terjadinya proses Indianisasi di Asia Tenggara sekitar awal Masehi itu kemudian diadopsi dan  disebarkan oleh orang-orang di luar Borneo sebagai nama kolektif untuk kelompok-kelompok suku yang paling tua yang hidup tersebar di seluruh pelosok Borneo. Nama kolektif tersebut diberikan berdasarkan perilaku  sebagaimana melekat pada kata dayak, sebagai persamaan dari pola hidup subsistensi yang diakukan oleh kelompok suku Dayak tersebut (Takdir, 2017). Nama kelompok Dayak sebagaimana dimaksud di atas mewakili ratusan kelompok suku yang menurut Maunati (2006) dan Riwut (1993) sekitar 450 kelompok suku yang secara khusus berbeda, terutama secara linguistis.

Oleh karena suku dayak ini merupakan suku tertua di Kalimantan Barat dan memiliki cerita yang cukup panjang dalam rekognisi identitasnya, maka paparan ini mencoba menggambarkan perubahan dalam aspek onomastics (penamaan) sebagai entry point yang signifikan terhadap tujuan policy paper ini. Orang-orang yang kemudian disebut sebagai sukudayak ini merupakan suku yang paling tua di antara suku-suku lain yang tinggal di pulau Borneo. Kedudukan ini – menurut sejarahnya – diperoleh setelah suku ini menggantikan posisi bangsa yang datang paling awal ke pulau ini yaitu Negrito dan Weddoide yang kini keberadaanya sudah punah (Wojowasito, 1957). Suku Dayak ini pada mulanya suku Nomaden di Rimba Borneo. Ketika mereka sudah mendapatkan peralatan kerja dari besi seperti parang dan beliung, dan memperoleh bibit padi untuk bercocok tanam padi di ladang, serta memelihara  binatang seperi babi, ayam, anjing dan kucing mereka mulai menjalankan kehidupan sedentary (Takdir, 2018). Kehidupan sedentary ini menandakan terjadinya suatu evolusi dalam sistem sosiokultur – bentuk subsistensi dalam mata pencaharian dan adat dalam kehidupan sosial suku ini.

 

Nomaden dalam konteks ini mengacu pada mata pencaharian penduduk – bukan tempat tinggal – yang masih harus mengembara dan merambah hutan untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan dengan perlatan yang sederhana  dari kayu, tulang dan batu yang sudah diasah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat pada kondisi ini sudah memiliki pemukiman sederhana dalam bentuk rumah pajang. Rumah ini terbuat dari material yang sederhana, seperti kayu. Bangunan ini dapat ditinggalkan begitu saja ketika komunitas pindah ke lokasi pemukiman yang lain. Lahan bekas lokasi bangunan  dengan pohon buah-buahan secaraadat teta diakui sebagai hak milik mereka.

Adat bagi suku Dayak bukanlah sekedar aturan, namun juga way of life  dan pedoman hidup dalam menjalani kehidupan sosial mereka (Takdir, 2018). Berdasarkan itu pulsa adat menjadi tono’ (payung aturan) untuk melindungi dan melegalkan kepemilkan. Aktivitas-aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari  dipandu oleh adat.  Hal inilah salah satunya yang membuat suku Dayak menyandang predikat sebagai masyarakat adat.

 

Di jaman kontemporer ini, nama Dayak tidak hanya mengacu pada the pagan indegeneous, swiddeners  dan nomadic hunters-gatherers (kaum pribumi kafir, peladang berpindah dan pemburu pengumpul yang masih merambah hutan) saja, tetapi mencakup  juga orang-orang yang berada dalam kehidupan modern yang memeluk agama-agama Kristen (Katolik Roma dan Protestan), Islam, Hindu, dan Buddha. Agama Kristen tidak mengubah status kesukuan orang-orang Dayak.mereka dan keturunannnya yang memmeluk kristen  sejak awal Kristen masuk ke Borneo tetap mengumumkan diri secara pasti sebagai Dayak (Takdir, 2018).

Seiring dengan perubahan yan terus terjadi, orang-orang Dayak yang sudah memeluk berbagai agama dan keturunannya serta yang sudah melakukan perkawinan antar suku tetap secara tegas mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Dayak. Ada beberapa hal yang melatari sikap orang-orang Dayak ini, diantaranya adalah adanya persamaan yang penting yang membuat kelompok-kelompok suku ini sangat lekat dengan identitas ke-Dayak-annya sebagai nama kolektif mereka. Persamaan tersebut antara lain; pertama menyangkut latar belakang sejarah dan kehidupan sosial yang sama. Orang-orang dalam komunitas masyarakat Dayak ini selamanya hidup di alam yang tidak pernah memiliki raja dan kerajaannya sendiri, seperti suku-suku lain di Nusantara (Takdir, 2018). Kondisi ini telah membentuk kelompok-kelompok suku Dayak secara umum menjadi masyarakat yang egaliter  – masyarakat tanpa kelas. Tidak ada kelompok bangsawan dan ningrat dalam kehidupan sosial mereka.

 

Persamaan kedua terkait erat dengan sistem sosio kultur yang sama,yaitu ladang berpindah, organisasi dan adat. Bentuk subsitensi  komunitas masyarakat Dayak adalah ladang berpindah dengan organisasi sosial yang distrukturkan oleh masing-masing adatnya. Adapun persamaan yang ketiga  adalah bentuk rumah tempat tinggl komunitas masyarakat Dayak berupa rumah panjang yang terdiri dari puluhan bilik keluarga inti. Persamaan keempat  adalah kebiasaan mengayau (headhunting) yang dimiliki oleh komunitas masyarakat Dayak, sehingga mereka memiliki peninggalan berupa pedang khas untuk mengayau, yaitu mandau dan tangkitn.

Persamaan kelima, kelompok suku yang dinamakan suku Dayak ini dikategorikan oleh Sarasin bersaudara ke dalam kelompok proto Melayu. Proto-Melayu (Melayu tua) itu terdiri dari suku-suku yang tidak pernah terkena pengaruh sejarah, yaitu pengaruh India (Hindu), pengaruh Barat, pengaruh islam dan sebagainya (Takdir, 2018). Suku-suku di Indonesia yang tidak terpapar pengaruh sebagaimana disebutkan diantaranya adalah suku Dayak, suku Mentawai, suku Batak, suku Toraja, dan sebagainya (Wojowasito, 1957). Salah satu dampak dari kehidupan suku Dayak yang tidak mendapat pengaruh kebudayaan tradisional Hindu-India adalahselamanya tidak pernah dicekoki oleh aturan dan tata krama dari kehidupan istana yang feodal dan tidak adanya frasa terima kasih (thank you) dalam bahasa-bahasa dari setiap komunitas suku Dayak di Kalimantan.

Walaupun suku Dayak itu terdiri dari 450 kelompok suku, masing-masing kelompok suku tersebut memiliki bahasanya sendiri-sendiri (Istiyani, 2008).  Dengan demikian, tidak ada bahasa Dayak, melainkan bahasa kelompok suku yang membentuk persekutuan Dayak. Oleh karenanya, dalam hal penamaan pun masing-masing sub-etnis berbeda-beda sesuai sistem bahasa lokal masing-masing.

Meskipun sebetulnya nama-nama yang benar-benar khas Dayak itu tidak ada. Secara umum nama-nama suku Dayak itu bersumber pada alam atau hal-hal di sekitar alam, seperti  Balang Nakrai (auman harimau), Bayah Punga (buaya yang sesungguhnya), Sawa (ular sawa) , Munsang (musang). Akan tetapi, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-16, sistem dan pola penamaan pada masyarakat suku Dayak akhirnya berubah sama sekali. Sebagian besar nama yang digunakan oleh masyarakat suku Dayak menyerap unsur-unsur nama dari Eropa, terutama Biblical Names (nama-nama dari Kitab Suci Injil) dan nama para penginjil Eropa yang datang ke wilayah mereka.

 

Orang Dayak terbuka pada segala hal yang bertalian dengan pihak luar. Salah satu sifat Dayak adalah tidak curiga pada pihak luar yang datang, terlebih pada mereka yang baru dikenal, bahkan musuh sekalipun harus diperlakukan dengan baik jika berada di rumah, setelah keluar halaman rumah baru dapat dijadikan musuh, hal demikian sesuai dengan ketentuan adat. Orang Dayak cenderung mudah percaya pada tamu dan menyerahkan nasib diri pada mereka yang dinilai “baik”. Di masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat dikenal ungkapan ahe-ahe ja toke (terserah toke, saudagar atau bos saja). Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap pola penamaan di Suku Dayak, karena setelah kedatangan penginjil ini banyak masyarakat suku Dayak yang menggunakan nama baptis atau nama permandian, seperti Elizabeth, Silvianus, Gabriel, Stephani dan lain sebagainya.  Pada saat yang sama ada pula yang menggunakan nama permandian dan nama lokal secara bersamaan, sebagai contoh adalah Theresia Hure.

Awal 1980-an menjadi era baru dalam penamaan masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat. Pada tahun tersebut telah dibuka  14.000 hektar perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak dan disusul ribuan hektar perkrbunan kelapa sawit yang lain di Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sambas dan Sintang (Arkan, 2012). Perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh ratusan perusahaan perkebunan yang membawa banyak pendatang , baik yang datang dibawa oleh pihak proyek perkebunan maupun para migran yang datang dengan maksud memperoleh lapangan kerja. Pendatang tersebut antara lain datang dari Jawa dan Sumatera Utara.

 

Dengan meningkatnya intensitas interaksi, interelasi dan komunikasi antara masyarakat setempat dengan pihak perkebunan dan masyarakat pendatang  turut mempengaruhi pola penamaan masyarakat di komunitas suku Dayak. Pasca kehadiran perkebunan sawit di Kalimantan Barat, banyak nama-nama Jawa, bahkan nama-nama Batak yang muncul di Kalimantan Barat. Meskipun pemilik nama tersebut adalah orang yang asli dari suku Dayak. Contoh nama-nama tersebut adalah Hartono, Supendi, Sianturi, Batubara dan sebagainya. [3] Pola penamaan seperti ini masih berlaku dalam komunitas Dayak hingga awal 2000-an.

Namun, seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah dimana identitas lokal diberikan ruang yang cukup luas, memberikan dampak pula pada pola penamaan di Kalimantan Barat. Sebagai daerah yang masyarakatnya cukup majemuk dan seringkali dilanda konflik sosial, fenomena penguatan  identitas semakin terlihat. Hasil wawancara dengan Antropolog sosial dari Universitas Tanjung Pura dikatakan bahwa pengkotak-kotakan kelompok etnis di Kalimantan Barat itu semakin jelas terlihat, salah satu yang terlihat adalah dari nama diri.[4]

Meskipun tidak terlalu banyak, di era ini sedikit lebih mudah membedakan penamaan orang Dayak dengan non Dayak – Jawa, Sumatera. Sebagian orang Dayak pada era ini mulai menggunakan bahasa-bahasa lokal; seperti  Vicentia, Cahyaningtyas Dara Bantang. Dara Bantang merupakan nama yang berasal dari bahasa lokal komunitas suku dayak yang kurang lebih memiliki arti sebagai anak gadis dari rumah panjang, Bantang merupakan nama rumah adat Komunitas Dayak yang sering pula disebut sebagai rumah panjang.

 

Contoh nama lain yang berasal dari Bahasa Dayak adalah Febriano Pangkadau Palias.  Pangkadau Palias sendiri merupakan bahasa Dayak Bakati yang memiliki arti semoga diberikan keselamatan. [5] Meskipun belum terlalu banyak upaya ini sudah mulai dilakukan oleh warga masyarakat pada komunitas Dayak di Kalimantan Barat. untuk mendukung upaya ini agar lebih sistemik, perlu dukungan dari pemerintah untuk terus mengkampanyekan pada masyarakat terkait penamaan nama diri ini menggunakan bahasa lokal. Hal ini terkait erat dimana nama merupakan salah satu fitur linguistik yang disusun dari kata-kata yang diadopsi dari bahasa.

[1] Orang Kalimantan Barat mengkategorikan sesorang yang tinggal di Kalimantan Barat sebagai Melayu jika dalam kesehariannya dalam berkomunkasi menggunakan bahasa Melayu dan Beragama Islam (Firman Muntacco, SH, MH – Ketua Forum Komunikasi Pemuda Melayu).

[2] Van Hulten menceritakan pengalamannya ketika bernegosiasi  dengan Oang Dayak di sebuah Kampung yang mengizinkan pastor masuk dengan syarat tidak menyinggung orang kampung sebagai orang kafir. Dahulu bagi pribumi bukan Islam, identitas Dayak dianggap sebagai sesuatu yang menghina dan memalukan.

[3] Hasil wawancara dengan Drs.Donatianus, BSEP,M.Si, Dosen Antropologi Sosial Universitas Tanjung Pura. Wawancara dilakukan pada tanggal 8 Juli 2019.

[4]  Hasil wawancara dengan Drs.Donatianus, BSEP,M.Si, Dosen Antropologi Sosial Universitas Tanjung Pura. Wawancara dilakukan pada tanggal 8 Juli 2019.

[5] Hasil wawancara dengan Bapak Giringi, Peneliti Dayakologi. Wawancara dilakukan pada tanggal 9 Juli 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *