Artikel ini dikonstruksi berdasarkan data nama penduduk di wilayah Sulawesi Utara. Dengan dua sampel dari nama penduduk di Manado dan Tondano, data nama penduduk yang diambil dari data pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 direntang secara diakronis berdasarkan tahun kelahiran sejak tahun 1941 (dekade 1940-an) sampai tahun 2000, sebagaimana data yang ada dalam data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data ini kemudian diolah berdasarkan register kebahasaan ke dalam 6 kategori: (1) nama berbasis tradisi, yaitu nama khas Jawa atau Sansekerta; (2) nama berbasis agama, yaitu nama Arab atau nama baptis; (3) nama dari suku lain, yaitu nama pendatang atau nama yang diadopsi dari suku lain di Indonesia; (4) nama global, yaitu nama Eropa, atau nama Barat, atau nama asing lainnya; (5) nama campuran, yaitu nama kombinasi antara nama yang berbasis tradisi dan agama (nama Arab/Baptis); dan (6) nama superhybrid, yaitu nama kombinasi dari nama yang berbasis tradisi, agama, dan global. Selanjutnya, hasil pengolahan data tersebut disuguhkan dalam bentuk statistik.
1. Nama Berbasis Agama Semakin Menurun
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, nama orang Minahasa dan suku-suku lain di Sulawesi Utara dikarakterisasi oleh perpaduan antara Biblical Names dan nama marga. Kesemuanya telah berlangsung semenjak 3 abad terakhir akibat penetrasi kolonial yang membawa serta Kristenisasi di dalamnya.
Dalam perkembangannya, perpaduan Biblical Names dan nama marga ini cenderung semakin menurun. Sampai akhir abad ke-20, nama jenis ini (disebut sebagai nama campuran) di Manado menurun sampai 45% dari 94% pada pertengahan abad yang sama. Hal yang sama juga terjadi di Tondano, dari 95% pertengahan abad ke-20 menjadi 46% di akhir abad yang sama.
Akan tetapi, memasuki akhir abad ke-20, nama anak-anak semakin banyak mengadopsi nama global yang tidak berdasarkan Biblical Names (24% di Tondano dan 26% di Manado). Ada juga yang tetap menyertakan Biblical Names yang dikombinasikan dengan nama global lainnya sehingga rangkaian nama menjadi lebih panjang. Hal ini menjadikan nama anak-anak semenjak akhir abad ke-20 menjadi nama superhybrid. Hal ini mengindikasikan bahwa nama anak-anak masyarakat suku Minahasa dan suku-suku lain di Sulawesi Utara semakin merayakan semangat global.
2. Pertumbuhan Middle-Names
Nama marga pada masyarakat suku Minahasa dan suku-suku lain di Sulawesi Utara pada prinsipnya mengikuti garis patrilineal (marga ayah). Hal ini menjadikan nama mereka biasanya hanya terdiri dari dua kata: kombinasi antara nama diri dan nama marga. Sampai pada era 1970-an, sebagian besar masyarakat suku masih menggunakan pola ini (kombinasi antara nama diri dan nama marga). Di Manado, kombinasi antara nama diri dan nama marga masih cukup besar (58%) pada pertengahan abad ke-20. Hal yang sama juga berlaku di Tondano pada pertengahan abad yang sama (64%).
Akan tetapi, komposisi dua kata ini semakin menurun prosentasenya pada akhir abad ke-20. Semenjak tahun 1980-an, prosentase nama yang terdiri atas 3 kata semakin meningkat (50% di Manado dan 53% di Tondano). Dari beberapa wawancara yang dilakukan terhadap orangtua yang memberi nama dengan komposisi 3 kata didapatkan kesimpulan bahwa susunan 3 kata tersebut terdiri atas nama diri, nama tengah, dan nama marga. Nama tengah ini merupakan nama marga dari garis Ibu.
Pertumbuhan nama tengah (middle-names) yang diambil dari nama marga dari garis Ibu bisa diinterpretasikan sebagai pertumbuhan kesadaran tentang kesetaraan antara Ayah dan Ibu dalam satu keluarga. Hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan kesadaran keluarga-keluarga kaum perempuan untuk didudukkan setara dalam keluarga baru yang dibangun anak-anak mereka. Kesadaran tentang kesetaraan ini kemudian ditubuhkan melalui nama cucu-cucu mereka.
3. Nama Anak-Anak Semakin Unik
Dengan penggunaan nama marga dan keterbatasan khazanah Biblical Names, ada banyak orang dari suku Minahasa dan suku-suku lain di Sulawesi Utara yang memiliki nama yang sama. Hal ini menyebabkan tingginya konsentrasi nama, meskipun tidak setinggi konsentrasi nama pada masyarakat suku yang tidak memiliki nama marga. Seiring dengan terbukanya literasi dan akses terhadap berbagai nama global, tingkat konsentrasi nama semakin menurun dari dekade ke dekade.
Seiring menurunnya tingkat konsentrasi nama pada masyarakat suku Minahasa beserta suku-suku lainnya di Sulawesi Utara, mereka semakin mengembangkan keunikan pada nama anak-anak mereka. Mereka menyerap berbagai khazanah nama dari berbagai budaya. Mereka berusaha menemukan keunikan nama bagi anak-anak mereka melalui media: TV (sinetron dan film), koran (nama-nama tokoh terkenal), buku-buku tentang nama, atau website di internet yang menyediakan nama-nama asing dari berbagai bangsa. Di samping itu, ada banyak inovasi nama modern yang tak berbasis pada register bahasaan manapun, seperti nama singkatan di antara nama Ayah dan Ibu.
Pertumbuhan keunikan nama menunjukkan bahwa masyarakat suku Minahasa dan suku-suku lain di Sulawesi Utara semakin berpikiran maju, literate, dan makmur, sehingga mendorong mereka untuk mengembangkan keunikan nama, bahwa mereka semakin memberi perhatian pada perbedaan (keunikan) anak-anak mereka melalui penamaan.