Meskipun sudah ada beberapa sarjana yang meneliti nama Bali, tidak banyak dari mereka yang menelisik dinamika penamaan pada masyarakat Bali kontemporer. Masyarakat Bali secara tradisional memiliki kearifan lokal dalam pengendalian jumlah anak melalui penanda urutan anak dalam keluarga. Berdasarkan tradisi, masyarakat Bali rata-rata memiliki 3 anak, sehingga anak ketiga ditandai dengan nama Komang atau Nyoman yang berarti muda atau kecil. Hal ini bisa diintepretasikan bahwa secara tradisional anak ketiga merupakan anak yang paling kecil. Oleh karena itu, anak keempat ditandai dengan nama Ketut, artinya yang membuntuti. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa secara tradisional anak keempat sebenarnya tidak direncanakan, tetapi istri mereka sudah terlanjur hamil, sehingga mau tidak mau harus diterima, akhirnya ditandai dengan nama Ketut. Dengan demikian, secara tradisional, Ketut merupakan hitungan terakhir dalam urutan anak dalam keluarga, sehingga jika lahir anak kelima dan seterusnya, maka hitungan urutan anak akan kembali ke awal menggunakan penanda anak pertama, kedua, dan seterusnya.
Seiring dengan kebijakan negara yang mendorong pembatasan angka kelahiran melalui program Keluarga Berencana (KB), maka jumlah anak ketiga (yang ditandai dengan nama Komang atau Nyoman) dan anak keempat (yang ditandai dengan nama Ketut), apalagi nama Alit, juga semakin berkurang. Hal ini belum banyak menjadi perhatian dari para peneliti. Demikian juga halnya dengan pertumbuhan kelas menengah dan mobilitas sosial yang menyebabkan masyarakat Bali dari berbagai kelas sosial mengalami transformasi sosial. Pertumbuhan kelas menengah yang berasal dari kalangan kelas sosial rendah dalam struktur sosial berbasis kasta menyebabkan mereka enggan memakai penanda kelas sosial yang dianggap rendah. Hal ini juga belum banyak menjadi perhatian dari banyak pengamat. Di samping itu, derasnya arus pariwisata ke Bali juga banyak menyebabkan akulturasi budaya yang pada gilirannya menyebabkan beberapa perubahan dalam tradisi penamaan, termasuk juga mengadopsi nama-nama dari luar Bali.
Artikel ini dikonstruksi berdasarkan riset lapangan yang meneliti dinamika penamaan pada masyarakat Bali di wilayah Denpasar dan Karangasem. Data nama dikoleksi dari data pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang di-download dari website Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (www.kpu.go.id). Data tentang nama ini direntang secara diakronis berdasarkan dekade sejak tahun 1941 (dekade 1940-an) sampai tahun 2000, sebagaimana data yang ada dalam data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data ini kemudian diolah berdasarkan register kebahasaan ke dalam 6 kategori: (1) nama berbasis tradisi, yaitu nama khas Jawa atau Sansekerta; (2) nama berbasis agama, yaitu nama Arab atau nama baptis; (3) nama dari suku lain, yaitu nama pendatang atau nama yang diadopsi dari suku lain di Indonesia; (4) nama global, yaitu nama Eropa, atau nama Barat, atau nama asing lainnya; (5) nama campuran, yaitu nama kombinasi antara nama yang berbasis tradisi dan agama (nama Arab/Baptis); dan (6) nama superhybrid, yaitu nama kombinasi dari nama yang berbasis tradisi, agama, dan global. Selanjutnya, hasil pengolahan data tersebut disuguhkan dalam bentuk statistik.
Nama Anak-Anak Semakin Hybrid
Salah satu keunikan dalam penamaan masyarakat Bali ialah ketahanan budaya dalam tradisi penamaan, sehingga masyarakat Bali kontemporer masih memegang teguh tradisi penamaan yang berlangsung turun-temurun, bahkan sampai saat ini ketika gelombang pariwisata di pulau ini semakin dahsyat. Nama khas orang Bali biasanya tersusun dalam rangkaian sebagai berikut:
- Penanda Gender
- Penanda Urutan Kelahiran
- Penanda Kelas Sosial
- Nama Diri
Dengan banyaknya penanda, analisis dinamika penamaan ini difokuskan pada “Nama Diri”. Berdasarkan dinamikanya, register kebahasaan “nama diri” orang Bali semakin luas dengan mengadopsi nama-nama yang belum pernah ada dalam perbendaharaan nama Bali sebelumnya, walaupun masih mempertahankan struktur penamaan yang khas dalam tradisi Bali. Berdasarkan data yang ada, perkembangan nama orang Bali berdasarkan register kebahasaan ialah sebagai berikut:
Gambar 1. Dinamika Penamaan di Denpasar Berdasarkan Register Kebahasaan
Gambar 2. Dinamika Penamaan di Karangasem Berdasarkan Register Kebahasaan
Berdasarkan data statistik di atas, “nama diri” orang Bali dikarakterisasi oleh nama berbasis tradisi. Meskipun progress-nya semakin mengalami penurunan oleh beberapa faktor, terutama migrasi dari luar Bali dan akulturasi budaya, nama berbasis tradisi ini masih tetap dominan. Mereka yang memiliki nama yang berbasis tradisi biasanya menggunakan kata-kata dari bahasa Bali, misalnya Kaler, Pigi, Radi, Tinggal, Wirta, Mawa, Candri, Cenik, Geria, Gumbreg, Kari, Kirem, Klepon, Lasia, Mangku Resi, Muncan, Nesa, Pujung, Repot, Retes, Retu, Sabeh, Sari, Seri, Suci, dan lain-lain. Meskipun tidak bisa dipastikan kelas sosialnya, nama yang sepenuhnya berbasis tradisi kemungkinan besar merupakan kelas sosial Waisya dan Sudra.
Sementara itu, nama campuran antara tradisi dan agama menduduki posisi terbesar kedua setelah nama berbasis tradisi. Jika dilakukan cross-analysis dengan kelas sosial, maka data statistik tersebut bisa menggambarkan bahwa nama campuran antara tradisi dan agama merupakan kelas sosial Brahmana dan Ksatria, karena biasanya hanya mereka yang menggunakan bahasa strata tinggi dari bahasa Sansekerta yang terdapat dalam Kitab Suci agama Hindu. Sampai era Bali kontemporer, tampaknya penggunaan nama campuran antara tradisi dan agama di kalangan kelas Brahmana dan Ksatria masih tetap bertahan.
Seiring dengan menurunnya “nama diri” berbasis tradisi, ada kategori nama yang secara perlahan semakin meningkat semenjak dekade 1990-an, yaitu superhybrid. Kategori ini didominasi oleh perpaduan antara nama berbasis tradisi dan nama global. Seiring juga dengan daya tarik pariwisata beserta potensi ekonomi yang berkembang di dalamnya, kehadiran migran dari luar pulau Bali juga semakin besar, sehingga menambah warna semakin beragamnya nama masyarakat di Bali. Sementara daya tarik pariwisata di Bali juga semakin menarik minat orang asing untuk tinggal di Bali.
Nama Anak-Anak Semakin Panjang
Dengan adanya penanda gender, urutan kelahiran, dan kelas sosial pada nama orang Bali, maka nama khas orang Bali sudah cukup panjang, biasanya 3 atau 4 kata, atau bahkan lima kata. Semakin tinggi kasta seseorang, biasanya semakin panjang namanya, atau semakin banyak kata-kata yang digunakan.
Gambar 3. Dinamika Jumlah Kata dalam Penamaan di Denpasar
Gambar 4. Dinamika Jumlah Kata dalam Penamaan di Karangasem
Nama-nama yang terdiri atas satu kata biasanya merupakan nama Jawa. Artinya, mereka merupakan pendatang dari Jawa yang datang di Bali pada era sebelum 1990-an. Setelah dekade 1990-an, anak-anak orang Jawa dan suku-suku yang lain yang tinggal di Bali banyak menggunakan nama yang terdiri atas 2 kata. Akan tetapi, jumlah mereka sangat kecil jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki nama yang terdiri atas 3 kata atau lebih.
Sementara itu, jumlah nama yang terdiri atas 3 dan 4 kata sangat dominan. Dalam sistem kasta, mereka yang memiliki nama yang terdiri atas 3 suku kata biasanya berasal dari kasta Sudra, karena mereka hanya memiliki 2 penanda: gender dan urutan kelahiran dalam keluarga. Mereka tidak memiliki penanda kelas. Seiring perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Bali, mereka yang berasal dari suku Waisya juga semakin meninggalkan penanda kelas sosial, sehingga mereka lebih memilih nama yang terdiri atas 3 kata, atau 4 kata tanpa penanda kelas. Hal ini mulai banyak terjadi pada dekade 1970-an. Oleh karena itu, sebagaimana terlihat dalam diagram statistik di atas, jumlah nama dengan 4 kata turun secara “agak dramatis”, sementara jumlah nama dengan 3 kata meningkat secara “agak dramatis” pula.
Mereka yang memiliki nama dengan 5 kata relatif lebih stabil, meskipun agak cenderung meningkat secara perlahan. Mereka terutama berasal dari kalangan kelas sosial Brahmana dan Ksatria. Jikalau terjadi peningkatan secara perlahan, hal ini dipahami sebagai perkembangan keluarga mereka. Sementara mereka yang memiliki nama dengan 6 kata relatif stabil.
Nama Anak-Anak Semakin Unik
Dengan adanya penanda dalam sistem penamaan orang Bali, maka tingkat konsentrasi nama di Bali sangat tinggi. Bahkan khusus “nama diri” juga relatif tinggi. Meskipun demikian, tingkat konsentrasi ini semakin turun seiring dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bali.
Gambar 5. Dinamika Tingkat Konsentrasi Nama di Denpasar dan Karangasem
Gambar 6. Dinamika Tingkat Keunikan Nama di Denpasar dan Karangasem
Seiring dengan dinamika masyarakat, bersamaan dengan menurunnya konsentrasi nama, tingkat keunikan nama semakin meningkat. Semenjak akhir dekade 1980-an, perbendaharaan nama Bali semakin kaya dengan adopsi nama dari berbagai bahasa, sehingga tingkat perubahan juga semakin tinggi. Pada era 1990-an, ada semakin banyak nama yang belum pernah ada sebelumnya dalam perbendaharaan nama di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa literasi para orangtua semakin tinggi, juga semakin makmur.
Merosotnya Nama yang Bepretensi Anak ke-3 dan Seterusnya
Sepanjang sejarah kebijakan Pemerintah Indonesia terkait kependudukan, Pemerintah Orde Baru sangat terkenal sebagai era yang ambisius dalam menekan angka kelahiran melalui program Keluarga Berencana (KB) dengan slogan “2 Anak Cukup”. Secara statistik, program ini baru terasa pada dekade 1980-an dan berlanjut sampai era 1990-an sebagaimana diagram statistik berikut:
Gambar 7. Dinamika Penamaan Berdasarkan Urutan Kelahiran di Denpasar
Gambar 8. Dinamika Penamaan Berdasarkan Urutan Kelahiran di Karangasem
Progam KB tersebut sangat terasa berimbas pada merosotnya nama yang memiliki penanda anak ketiga (Nyoman atau Komang) dan penanda anak keempat (Ketut). Demikian juga halnya dengan nama yang berpretensi sebagai nama anak kelima dan seterusnya, seperti nama Alit atau Balik. Meskipun demikian, belum ada data tentang keberlanjutan impact program ini pada abad ke-21, karena keterbatasan data yang hanya sampai tahun 2000.