Orang Eropa pertama yang mendarat pertama kali di Bali ialah Cornellis de Houtman dari Belanda beserta rombongannya yang mendarat di pulau ini pada tahun 1579. Tujuan utama kedatangannya di pulau ini ialah singgah sambil mencari komoditas rempah-rempah, sebagaimana umumnya ekspedisi orang Eropa di Nusantara. Meskipun gagal menemukan rempah-rempah di pulau ini, dalam persinggahannya mereka sempat menulis tentang pulau ini dan kehidupan masyarakatnya. Mereka menggambarkan Pulau Bali beserta kehidupan dan kebudayaannya sebagai sesuatu yang sangat unik, tidak pernah dijumpai di tempat lain yang dikunjungi selama mereka mengelilingi dunia. Mereka juga menggambarkan bahwa alam pulau Bali sangat indah dan memiliki daya tarik tersendiri. Mereka menyebut bahwa penduduk asli pulau ini menamakan diri sebagai orang Bali. Hal inilah yang mereka laporkan kepada Raja Belanda pada saat itu.
Pada abad ke-17, seiring dengan semakin dikenalnya pulau-pulau di Nusantara sebagai penghasil komoditas rempah-rempah yang sangat terkenal di Eropa, pulau Bali sendiri juga semakin dikenal dengan keunikan budayanya. Hal ini semakin menarik minat para pengelana Eropa untuk singgah di pulau ini. Pengalaman singgah di pulau yang indah ini bergaung selama beberapa abad di Eropa, sehingga citra Bali sebagai pulau yang eksotik semakin terkenal.
Ketika Bali dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Kolonial pada awal abad ke-20, mereka mulai melirik eksotisme pulau Bali yang sangat terkenal di Eropa sebagai potensi pariwisata. Oleh karena itu, mereka mulai membuka pintu kunjungan pariwisata bagi orang-orang Eropa di pulau ini. Pada tahun 1920-an, Kapal dagang Belanda KPM (Koninklijke Paketcart Maatsckapij) yang melayani jalur pelayaran Singapura – Batavia – Semarang – Surabaya untuk keperluan dagang, membuka route ke pelabuhan Buleleng Bali dengan membawa rombongan turis dari Eropa. Oleh karena banyaknya permintaan untuk singgah di Bali, maka jalur pelayaran baru ke Bali ditambah dengan armada Bali Express untuk memenuhi permintaan dari pelancong yang ingin datang ke Bali. Pada tahun 1924, kantor perwakilan resmi urusan pariwisata di Bali, Official Tourist Buerau, dibuka untuk pertama kalinya. Gelombang kedatangan turis ke Bali pada masa itu sangat pesat, sehingga Kapal Bali Express meningkatkan jumlah pelayaran sampai 18 kali pertahun (Picard, 1990).
Di antara para pelancong itu terdapat juga para seniman, pelukis, dan penulis asal eropa yang di kemudian hari turut andil dalam mempromosikan Bali di dunia Internasional. Di antara mereka ialah Gregor Krause yang ditugaskan langsung oleh Pemerintah Kolonial untuk mendokumentasikan pulau Bali melalui foto dan buku. Juga Miguel Covarrubias yang menulis buku The Island of Bali pada tahun 1930. Ada pula Mrs. Menc yang lebih dikenal dengan Ni Ketut Tantri yang menulis buku Revolt In Paradise. Salah satu di antara lainnya yang juga terkenal ialah Walter Spies, salah satu pencipta Tari Kecak bersama Rudolf Bonnet, I Gusti Nyoman Lempad, Tjokorda Gde Agung Sukawati. Beberapa dari mereka menetap dan menganggap Bali sebagai rumah mereka. Bahkan aktor komedi Charlie Chaplin juga pernah berkunjung ke pulau Bali atas undangan dari Walter Spies pada tahun 1939.
Atas peran mereka, keindahan dan keunikan budaya di pulau Bali semakin menjadi terkenal di Eropa. Dengan keunikan kepercayaan dan agama masyarakat di pulau ini, maka pulau ini dijuluki The Island of Gods pada saat itu. Dengan semakin bertambahnya kunjungan wisatawan ke pulau Bali, maka Pemerintah Kolonial Belanda membangun hotel untuk pertama kali pada tahun 1930 di jantung kota Denpasar. Dan semenjak dibangun bandara pada tahun 1835, pariwisata di pulau ini menjadi semakin pesat, karena tidak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai di pulau ini. Geliat pariwisata di pulau ini akhirnya tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan sampai saat ini.
Sejarah perkembangan pariwisata di pulau Dewata ini mengindikasikan adanya keunikan budaya masyarakat di pulau ini. Hal ini sangat terasa melalui otentisitas linguistik masyarakat setempat. Aspek-aspek linguistik dalam sebuah masyarakat merupakan penanda sebuah budaya (Sibarani, 2004). Hal ini sangat tercermin melalui penamaan masyarakat suku Bali. Nama orang Bali memiliki karakter yang khas untuk menjadi sebuah identitas khas budaya masyarakat Bali. Bagi masyarakat Bali, pemberian nama kepada seseorang tidak boleh asal pilih karena mengikuti aturan budaya yang telah ada semenjak masyarakat Bali kuno. Penamaan orang Bali berkaitan dengan tiga aspek, antara lain gender, urutan kelahiran, dan sistem kasta (kelas sosial). Secara keseluruhan, ketiga aspek tersebut menjadi suatu keunikan tertentu yang menandai bagaimana budaya Bali tersebut mempengaruhi aspek lingual penamaan.
1. Gender
Sebagaimana penamaan dalam banyak masyarakat suku, aspek gender merupakan salah satu penanda penting pada nama orang Bali. Penanda ini diaplikasikan sebagai nama depan. Nama laki-laki biasanya menggunakan penanda I, sedangkan nama perempuan menggunakan penanda Ni (Temaja, 2017).
Tabel 1. Nama Berdasarkan Gender
Akan tetapi, aplikasi penanda gender ini mengalami beberapa perkecualian pada kelas-kelas sosial (kasta) tertentu. Pada nama seseorang dari kasta Brahmana, nama dimulai dengan penanda kelas sosial Brahmana, yaitu Ida, kemudian baru ditambahkan dengan penanda gender, yaitu Bagus (untuk laki-laki) dan Ayu (untuk perempuan). Nama Bagus berarti ‘rupawan’, dan Ayu berarti ‘jelita’ (Temaja, 2017).
Tabel 2. Nama Berdasarkan Penanda Bagus dan Ayu
Sementara itu, pada kasta Kesatria, penanda kelas sosial dicantumkan di depan, kemudian ditambahkan penanda gender. Pada kasta ini, penanda laki-laki diikuti oleh gelar yang salah satunya Cokorda. Akan tetapi, penanda nama pada perempuan memiliki beberapa variasi dan aturannya tersendiri, seperti Istri dan Sagung. Penanda Sagung mengikuti gelar lainnya pada kasta Kesatria, seperti Anak Agung. Lebih lanjut, khusus untuk nama Sagung bisa berfungsi sebagai artikula dengan diikuti oleh penanda Istri.
Tabel 3. Nama Berdasarkan Gelar Cokorda, Cokorda Istri, dan Sagung
Pada kelas sosial sudra, aplikasi penanda gender ialah Luh (khusus untuk perempuan). Penamaan ini lazimnya bisa atau tanpa diawali artikula Ni, dan dengan atau tanpa diikuti oleh penanda nama umum, seperti Made, Komang, Ketut, dan sebagainya (akan dibahas pada pemaparan selanjutnya), atau tanpa keduanya. Khusus untuk nama perempuan yang diberikan nama Gede sifatnya wajib untuk diawali oleh nama Luh, namun artikula Ni sifatnya opsional.
Tabel 4. Nama Berdasarkan Penanda Luh
Meskipun demikian, secara umum, artikula I dan Ni masing-masing merupakan penanda laki-laki dan perempuan dan umumnya diberikan pada awal nama seseorang. Beberapa perkecualian di atas, dalam linguistik, hanya diklasifikasikan ke dalam kata sifat (Bandana, 2015).
2. Urutan Kelahiran
Salah satu keunikan sistem penamaan dalam masyarakat suku Bali, dan tidak ada dalam masyarakat suku lainnya di Indonesia, ialah sistem penamaan berdasarkan urutan kelahiran. Dalam sebuah keluarga, setiap anak bisa diidentifikasi urutannya di antara saudara-saudaranya berdasarkan namanya. Hal ini merupakan kearifan lokal agar saudara yang lebih muda menghormati saudara yang lebih tua, sementara saudara yang lebih tua menyayangi saudara yang lebih muda.
Tabel 5. Penanda Urutan Anak
Dalam aplikasinya, penanda urutan anak dalam keluarga itu memiliki banyak variasi, karena hal ini terkait dengan isu gender dan kelas sosial.
A. Anak Pertama
Ada 3 penanda yang biasa digunakan untuk menandai anak pertama dalam nama mereka, yaitu Wayan, Gede/Gde, atau Putu. Wayan berasal dari kata ‘wayah’ yang berarti ‘tua’, sedangkan Putu berarti ‘cucu’, sementara Gede berarti ‘besar’. Dalam konteks gender, nama Wayan dan Putu bisa diberikan kepada laki-laki dan perempuan, sedangkan nama Gede umumnya diberikan kepada laki-laki, kecuali jika didahului dengan penanda Luh sehingga bisa menjadi penanda perempuan. Sementara itu, dalam konteks kelas sosial, nama Putu lebih cenderung dipilih oleh kalangan selain kasta Sudra.
Tabel 6. Nama Anak Pertama
B. Anak Kedua
Ada 3 penanda yang biasa digunakan untuk menandai anak pertama dalam nama mereka, yaitu Made, Nengah, atau Kadek. Made berasal dari kata Madya yang berarti ‘tengah’, sedangkan berasal dari kata ‘tengah’, sementara Kadek atau Kade berasal dari kata adi yang berarti ‘adik’. Dalam konteks gender, nama-nama tersebut dapat diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Sementara dalam konteks kelas sosial, golongan selain kasta Sudra hanya memilih Made dan Kadek untuk penamaan.
Tabel 7. Nama Anak Kedua
C. Anak Ketiga
Ada 3 penanda yang biasa digunakan untuk menandai anak pertama dalam nama mereka, yaitu Nyoman atau Komang. Asal-usul kedua penanda anak ketiga ini terdapat beberapa perkiraan. Kata Nyoman atau Komang disebut berasal dari kata anom yang berarti muda atau kecil. Transformasi kata anom menjadi Nyoman atau Komang merupakan beberapa variasi pengucapan. Sementara itu, versi lain menyebut kata Nyoman berasal dari kata Nyeman yang berarti lebih tawar. Asumsi ini berdasarkan tradisi budaya masyarakat Bali yang sangat dekat dengan eksistensi pohon pisang. Mereka terbiasa mengunakan batang pohon pisang yang muda untuk dimasak menjadi jukut ares, semacam sayuran berkuah yang berisikan potongan-potongan batang pohon pisang yang masih muda. Kulit terluar batang pohon tersebut terasa tawar (nyeman). Versi lainnya menyebutkan bahwa kata Nyoman dan Komang berasal dari kata uman yang berarti sisa.
Tabel 8. Nama Anak Ketiga
Terlepas dari perspektif asal-usul kata Nyoman atau Komang, semua makna dari asal-usul kata-kata tersebut berasosiasi pada sesuatu hal yang sifatnya akhir. Pada prinsipnya, masyarakat Bali kuno terbiasa memiliki 3 anak, karena angka 3 dianggap sebagai sesuatu yang sempurna (Temaja, 2017). Konsep angka 3 identik dengan konsep teologis Hindu Bali yang berporos pada angka 3 (Tri), seperti Tri Pitaka, Tri Murti, Tri Datu, Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, dan sebagainya (Eiseman, 2000).
D. Anak Keempat
Tidak ada variasi penanda anak keempat, karena hanya ada satu penanda, yaitu Ketut, berasal dari kata ketuut atau ketuwut yang berarti ‘mengikuti’ atau ‘membuntuti’. Sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat Bali kuno terbiasa memiliki 3 anak, karena angka 3 dianggap sebagai sesuatu yang sempurna (Temaja, 2017). Oleh karena itu, masyarakat Bali kuno memiliki cara pandang bahwa Nyoman atau Komang merupakan anak terakhir. Jika kemudian ada keluarga Bali yang melahirkan anak keempat, maka hal itu hanya merupakan tambahan saja, sehingga dinamakan Ketut, artinya anak yang membuntuti.
Tabel 9. Nama Anak Keempat
E. Anak Kelima dan Seterusnya
Seiring perkembangan waktu, ada semakin banyak keluarga Bali pada masa lalu yang memiliki anak lebih dari empat. Hal ini memerlukan koridor budaya dalam penamaan, tanpa harus mengubah konsep lama yang sudah berabad-abad menjadi pijakan tradisi budaya masyarakat Bali. Untuk memberikan nama bagi anak kelima dan seterusnya, maka penamaan akan diulang sesuai urutan awal dengan beberapa tambahan sebagai berikut:
- Pemberian nama tengah Alit yang berarti kecil
- Pemberian nama tengah menurut urutan angka Bahasa Jawa Kuno (Panca = anak kelima, Sad = anak keenam, sapta = anak ketujuh, asta = anak kedelapan, dan seterusnya)
- Dalam sapaan diberikan tambahan sebutan Balik yang berarti ‘kembali’ mengikuti nama berdasarkan urutan kelahiran
Tabel 10. Nama Anak Kelima dan Seterusnya
3. Kelas Sosial (Kasta)
Dalam masyarakat Bali kuno terdapat 4 kelas sosial, yaitu Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Klasifikasi sosial tersebut disebut catur wangsa, catur warna, kasta (Wiana, 2006), atau catur jatma/janma (Agung, 2001). Meskipun kelas sosial kuno ini sudah tidak relevan karena dinamika sosial ekonomi dan politik yang terus bergerak, pembagian kelas sosial tersebut masih sangat terasa dalam penamaan.
A. Brahmana
Kelas sosial Brahmana merupakan keturunan pemuka agama pada masyarakat Bali kuno. Meskipun anak keturunan mereka semakin tersebar ke dalam berbagai profesi, nama mereka masih bisa merefleksikan asal-usul keluarga mereka dari zaman kuno. Pada umumnya, mereka memiliki gelar sebagai keturunan kasta Brahmana, yaitu Ida Bagus (untuk laki-laki) dan Ida Ayu, atau biasa disingkat Dayu, (untuk perempuan).
Tabel 11. Penamaan Kelas Sosial Brahmana
B. Kesatria
Kelas sosial Kesatria merupakan keturunan raja atau bangsawan pada masyarakat Bali kuno. Meskipun anak keturunan mereka semakin tersebar ke dalam berbagai profesi, nama mereka masih bisa merefleksikan asal-usul keluarga mereka dari zaman kuno. Pada umumnya, mereka memiliki gelar sebagai keturunan kasta Kesatria, yaitu Anak Agung (biasa disingkat Gung), Cokorda (biasa disingkat Cok), Dewa, atau Gusti. Di samping itu, ada gelar lain lagi yang dikhususkan bagi perempuan, seperti Dewa Ayu, Desak, dan Sagung.
Tabel 12. Penamaan Kelas Sosial Kesatria
C. Waisya
Kelas sosial Waisya merupakan keturunan pengusaha, pedagang, dan juragan pada masyarakat Bali kuno. Dengan peningkatan mobilitas sosial yang dialami para keturunan Waisya ini, mereka semakin banyak yang menanggalkan penanda kelas sosial ini, dan lebih memilih nama umum yang merujuk pada urutan kelahiran. Meskipun demikian, masih ada beberapa nama orang Bali yang merefleksikan asal-usul leluhur mereka dari zaman kuno. Pada umumnya, mereka memiliki gelar sebagai keturunan kasta Waisya, seperti Ngakan, Kompyang, Sang, dan Si. Untuk menandai jenis kelamin, khusus untuk penanda perempuan umumnya ditambahkan nama Ayu setelah penanda kelas sosial. Khusus untuk perempuan yang diberikan penanda sosial Si, biasanya diikuti oleh penanda gender Luh, sehingga biasa disingkat menjadi Siluh. Sementara itu, pemberian penanda kelas sosial Ngakan pada perempuan jarang dijumpai.
Tabel 13. Penamaan Kelas Sosial Waisya
D. Sudra
Kelas sosial Sudra merupakan keturunan petani, buruh, atau profesi rendahan lainnya pada masyarakat Bali kuno. Sejak zaman masyarakat Bali kuno, kelas sosial ini tidak terikat pada struktur sosial yang mencantumkan beragam gelar dalam namanya, kecuali hanya berdasarkan urutan kelahiran pada umumnya.
Tabel 14. Penamaan Kelas Sosial Sudra
Karakterisasi aspek gender, urutan kelahiran dalam keluarga inti, dan sistem klasifikasi sosial dalam penamaan merupakan keunikan dalam masyarakat Bali. Hal ini mengindikasikan bahwa konteks budaya sangat berpengaruh pada aspek linguistik pada masyarakat Bali.